Tampilkan postingan dengan label Fiqih Dakwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Dakwah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Februari 2019

Amar Ma'ruf Nahi Mungkar


Semua manusia, tanpa terkecuali memiliki dua sisi kehidupan. Kehidupan individual dan kehidupan sosial. Kehidupan individual, berupa kehidupan tentang hak-hak pribadi seseorang, seperti hak hidup, hak menyampaikan pendapat, hal beraktifitas, hak mencari kerja, hak untuk dihormati, dihargai dan lain sebagainya.  Sedangkan kehidupan sosial, adalah kehidupan bermasyarakat dan kehidupan yang berhubungan dengan orang lain, di mana saja ia berada. Keseimbangan dalam kedua sisi kehidupan ini dituntut selalu dari seseorang.  Orang yang baik adalah orang yang mampu memadukan dua sisi kehidupannya secara proporsional dan seimbang. Sikap ekstrim pada satau sisi kehidupan ini, baik itu kehidupan sosial maupun individual tidaklah baik.
 
Bila ada orang terlalu mengagung-agungkan kehidupan individualnya dan mengabaikan kehidupan sosialnya, apalagi mendewa-dewakan hak-hak pribadinya dan mengabaikan kehidupan sosial, sebenarnya ia kurang bijak. Apalagi bila hak-hak individual yang diagungkan dan dibanggakan itu sampai mengganggu hak orang lain. Begitu juga bila seseorang tidak peduli dengan kehidupan individual dan hanya mengagungkan keidupan sosialnya, juga kurang bijak. Perasaan selalu tidak enak dengan orang lain, akan selalu menghantuinya. Apalagi kalau sibuk mengurus urusan masyarakat, dan lupa dengan urusan pribadinya. Hal ini akan mengganggunya untuk terus maju. Karena walaupun bagaimanapun juga orang berbuat dan bertenggangrasa kepada orang lain, masih ada saja pihak yang tidak suka. Memuaskan semua orang satu hal yang mustahil. Tidak salah pepatah mengajarkan kepada kita," Dalam lautan bisa diketahui, dalamnya hati tidak mungkin diketahui." Keridhoan manusia, adalah jarak yang tidak mungkin diketahui."

Keindahan dalam kedua sisi kehidupan itu terjelma pada kemampuan seseorang untuk melaksanakan kedua sisi kehidupannya secara seimbang dan proporsional.
Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan atau dalam bahasa "gaul" nya amar ma'ruf nahi mungkar, merupakan sarana untuk menjaga kondisi kebaikan dan kesalehan sosial. Bila tindakan menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari berbuat kerusakan, maka akan menjadikan kerusakan masal tidak bisa dihindarkan.  Bagaimana dengan pelaksanaan dan keutamaannya??? 

Kesalahan dalam memahami hal ini, akan menjadikan kondisi bukan membaik, justru akan menambah fitnah dan kerusakan yang lebih besar. Dalam postingan-postingan yang akan datang, fiqh dakwah akan mengupas sedikit demi sedikit tentang amar ma'ruf nahi mungkar. Moga bisa memberikan sedikit kontribusi yang membangun. Amin

Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com

Minggu, 24 Mei 2015

Anak Panah Tidak Mesti Maju

Tidak tahu dari mana asalnya. Belajar dari mana saja. Mengambil ilmu dari siapa saja. Mengambil renungan dari apa saja. Silahkan merenungkan. Moga ada manfasnya.

Apakah kita anak panah ini ataukah kita pembina anak panah ini?

Seperti Anak Panah,
Dimundurkan Untuk Melesat Ke Depan...

Pernahkah kamu mengalami suatu keadaan yang membuat hidupmu seperti ditarik mundur, jauh dari harapan?

Pernahkah kamu melihat orang-orang yang dulunya berapi-api tiba-tiba seperti kehilangan semangat bahkan lenyap dari peredaran?

Pernahkan kamu melihat atau bahkan merasakan bahwa orang-orang yang pernah kau lihat (atau bahkan dirimu sendiri) mengalami kemunduran itu, lalu tiba-tiba melesat cepat ke depan dan meraih banyak hasil?

⏩Kita seperti anak panah di tangan Allah..! Ada masa-masa anak panah itu melesat cepat terlepas dari busurnya menuju sasaran yang dimaksudkan.

Ada masanya anak-anak panah itu harus istirahat dalam kantong-Nya. Namun di saat yang diperlukan, anak panah itu akan dipasang dalam busur-Nya ditarik kebelakang.. Sejauh mungkin untuk mencapai suatu sasaran.

Semakin jauh tarikannya, semakin jauh pula jarak yang akan ditempuh. Semakin panjang rentang busur menarik ancang-ancang, makin cepat pula anak panah itu melesat.

Jadi…

❇Jika kau seperti dalam keadaan yang mundur, bersabarlah : Mungkin Allah tengah meletakkanmu di busur-Nya. Menarikmu jauh-jauh ke belakang, agar di saat kau dilepaskan, kau memiliki daya dorong yang kuat untuk mencapai sasaran. Dan jika kau melihat seorang teman seperti tengah mengalami kemunduran, jangan buru-buru menghakimi dengan mengatakan “Apinya telah padam” atau.. “Jangan-jangan dia ada dosa..”

Jadilah teman yang baik, yang mendampingi di saat temanmu sedang “dimundurkan” karena dengan demikian kau ikut menjaganya agar tidak sampai putus asa dan terkulai.

Kamu, aku, dia, mereka, kita… adalah anak-anak panah ditangan Allah..!

Hidup untuk mencapai suatu sasaran yang sudah ditetapkan.

Tetaplah semangat, tetaplah bersabar, tetaplah tekun dalam kebenaran, dan senantiasa ISTIQOMAH dan tetaplah berdoa memohon kepada Allah, niscaya Allah akan memberi lebih dari yg kita mohonkan...

آمين يارب العالمين

Sabtu, 27 Februari 2010

BUNGKUS GODAAN SYETAN

Syetan memang tidak akan pernah diam dari pekerjaan utama. Bahkan dia tidak akan pernah lupa apalagi salah untuk menjalankan misi utamanya, yaitu menggoda manusia. Ada nasehat yang sangat bijak dari Syeh Musthafa as siba'iy yang memberikan nasehat kepada kita semua tentang bagaimana syetan menggoda kita. Berikut nasehat itu:

يَقُوْلُ مُصْطَفَى اَلسِّبَاعِيُّ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ


DR. Musthafa As-Siba’i rahimahullah berkata:

  1. إِنِّيْ لاَ أَخْشَى عَلَى نَفْسِيْ أَنْ يُغْرِيْنِي الشَّيْطَانُ بِالْمَعْصِيَةِ مُكَاشَفَةً.. وَلَكِنَّيْ أَخْشَى أَنْ يَأْتِيَنِيْ بِهَا ملفقة بِثَوْبٍ مِنَ الطَّاعَةِ..


    Saya tidak mengkhawatirkan diriku digoda oleh syetan melalui maksiat secara terbuka … akan tetapi saya khawatir syetan datang kepadaku dengan membawa maksiat yang dibungkus dengan baju ketaatan

  2. يُغْرِيْكَ الشَّيْطَانُ بِالْمَرْأَةِ عَنْ طَرِيْقِ الرَّحْمَةِ بِهَا.. وَيُغْرِيْكَ بِالدُّنْيَا عَنْ طَرِيْقِ الْحَيْطَةِ مِنْ تَقَلُّبَاتِهَا


    Syetan menggodamu dengan wanita dengan alasan kasihan kepadanya … dan menggodamu dengan dunia dengan alasan agar tidak menjadi korban gonjang ganjingnya

  3. وَيُغْرِيْكَ بِمُصَاحَبَةِ الأَشْرَارِ عَنْ طَرِيْقِ اْلأَمَلِ فِيْ هِدَايَتِهِمْ.. وَيُغْرِيْكَ بِالنِّفَاقِ لِلظَّالِمِيْنَ عَنْ طَرِيْقِ الرَّغْبَةِ فِيْ تَوْجِيْهِهِمْ..


    Dan menggodamu untuk berkawan dengan orang-orang buruk dengan alasan demi memberi petunjuk kepada mereka dan menggodamu untuk bersikap munafik kepada orang-orang zhalim dengan alasan ingin mengarahkan mereka

  4. وَيُغْرِيْكَ بِالتَّشْهِيْرِ بِخُصُوْمِكَ عَنْ طَرِيْقِ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ.. وَيُغْرِيْكَ بِتَصْدِيْعِ وِحْدَةِ الْجَمَاعَةِ عَنْ طَرِيْقِ الْجَهْرِ بِالْحَقِّ..


    Dan menggodamu untuk mempublikasi keburukan lawan-lawanmu dengan alasan demi melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan menggodamu untuk memecah belah jama’ah dengan alasan lantang menyuarakan kebenaran

  5. وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ إِصْلاَحِ النَّاسِ عَنْ طَرِيْقِ الاِشْتِغَالِ بِإِصْلاَحِ نَفْسِكَ.. وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ الْعَمَلِ عَنْ طَرِيْقِ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ..


    Dan menggodamu agar tidak memperbaiki orang lain dengan alasan sibuk memperbaiki diri sendiri dan menggodamu untuk tidak beramal dengan alasan ini sudah menjadi takdir

  6. وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ الْعِلْمِ عَنْ طَرِيْقِ الاِنْشِغَالِ بِالْعِبَادَةِ.. وَيُغْرِيْكَ بِتَرْكِ السُّنَّةِ عَنْ طَرِيْقِ اِتِّبَاعِ الصَّالِحِيْنَ


    Dan menggodamu untuk tidak menuntut ilmu dengan alasan sibuk beribadah dan menggodamu untuk meninggalkan sunnah dengan alasan mengikuti orang-orang shalih

  7. وَيُغْرِيْكَ بِالاِسْتِبْدَادِ عَنْ طَرِيْقِ الْمَسْؤُوْلِيَّةِ أَمَامَ اللهِ وَالتَّارِيْخِ.. وَيُغْرِيْكَ بِالظُّلْمِ عَنْ طَرِيْقِ الرَّحْمَةِ بِالْمَظْلُوْمِيْنَ..


    Dan menggodamu agar otoriter dengan alasan demi tanggung jawab di hadapan Allah dan sejarah dan menggodamu untuk berbuat zhalim dengan alasan demi memberikan kasih sayang kepada mereka yang terzhalimi


Moga kita terlindung dari godaan syetan yang terkutuk itu.

Minggu, 07 Februari 2010

Tatsqif Perdana

Alhamdulillah tatsqif perdana sudah bisa dimulai, Sabtu, 7 Februari 2010, jam 4 sore. Semangat yang harus selalu dipupuk di saat orang mulai lemas dengan berbagai aktifitas keilmuan.
Yang perlu di sadari, mencari ilmu dari dulu sampai sekarang dan sampai hari kiamat, namanya belajar itu ya berat. Dan namanya orang yang rajin mencari ilmu itu ya lebih sedikit. Yang paling banyak ya orang awam, yang tidak mau belajar.
Siapa yang tidak mau jadi orang awam? Silahkan belajar. Bila tidak belajar jangan bermimpi untuk menjadi yang lain. Kalau menghayal silahkan. Namanya juga hayalan. Tapi tanggung banget ya, menghayal belajar.
Fahmul Islam, itulah tatsqif kali ini saya beri nama. Padahal semua ilmu agama Islam kalau kita pelajari khan berarti memahami Islam? Kenapa fahmul Islam? Secara pribadi biar specifik aja. Biar beda dengan yang biasanya aja. Kalau hal yang baru biasanya banyak orang suka. Moga teman-teman peserta tatsqif suka.
Sukses selalu untuk para peserta. Untuk yang belum ikut serta, moga sukses juga.

Rabu, 03 Februari 2010

Ustadz Saiful Islam

" Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (DPW PKS) Jawa Barat memberikan penjelasan tentang keputusan pemecatan terhadap kadernya yang juga mubalig, Saiful Islam, Lc. Pemecatan itu bukan karena masalah setoran kepada partai, melainkan karena yang bersangkutan tidak mematuhi kebijakan partai."
Itulah sepenggal berita yang dimuat dalam Era Muslim. Di sini saya hanya ingin mengambil pelajaran dari peristiwa itu. Sebuah pelajaran yang sangat berharga bila dibiarkan tanpa ada ibroh yang diambil.
Dalam sunnah dakwah, para aktivis dakwah pasti tahu, bahwa tsabat dalam dakwah bukan hal yang mudah. Karena ada awaiq yang mesti dilewati. Awaiq itu bisa kehidupan yang sulit, seperti kekurangan makan, hidup sulit, hidup di balik jeruji besi, dan perbagai kehidupan sulit lainnya. Sejarah telah menulis lengkap berbagai peristiwa tentang kondisi ini. Mulai dari Rasulullah, para nabi, sahabat dan para pejuang dakwah lainnya. Justru kebanyakan para mujahid dakwah banyak yang mampu melewati kondisi ini dengan baik.
Namun ujian dalam jaland dakwah tidak selamanya hidup sulit, tapi sebaliknya hidup dalam kondisi kecukupan, bahkan berlebih. Harta berlimpah, jabatan ditangan, istri cantik dan lain sebagainya juga merupakan ujian. Justru banyak diantara para pemimpin dakwah jatuh dari jalan dakwah dalam kondisi ini.
Yang mungkin juga menjadi kerikil yang menjadikan seseorang jatuh juga dalam jalan dakwah adalah "syuhroh" atau populeritas. Karena biasanya populeritas menjadikan seseorang merasa lebih dari teman-teman yang lain. Merasa tidak perlu dukungan teman-temannya sesama aktivis. Penyakit ini biasanya menjangkiti para tokoh dan orang-orang yang beken.
Kita tidak tahu secara pasti yang dialami oleh Ustadz Saiful Islam. Yang jelas, jalan panjang dakwah harus bisa kita lalui. Yang dialami oleh Ustadz kita, bisa terjadi pada kita. Moga kita tetap istiqomah dalam jalan dakwah. Pelajaran yang baik sekali yang bisa kita ambil adalah: Kam Minna laisa Fiina, wa kam fiina laisa minna. wama taufiqie illa billah.

Peluang Dosen

Universitas Islam Indonesia Yogyakarata, membuka kesempatan bagi rekan-rekan yang berminat meniti karier di bidang akademik. Kali ini Universitas Islam Indonesia membuka lowongan dosen tetap untuk 15 program studi.
Akuntansi, Manajemen, Ilmu Hukum, Arsitektur, Teknik Lingkungan,Teknik Industri, Teknik Kimia, Teknik Informatika, Teknik Elektro,Teknik Mesin, Ilmu Komunikasi, Pendidikan Dokter, Ekonomi Islam, Hukum Islam dan Pendidikan Agama Islam.

Diutamakan untuk lulusan S2/S3, namun SANGAT TERBUKA peluang untuk lulusan S1.
Pendaftaran dibuka 1 - 25 Februari 2010. Pengumuman lolos administratid tanggal 4 Maret 2010. Ujian seleksi dimulai 8 Maret 2010. Masa kerja dimulai 1 April 2010.
Info lebih lanjut, serta formulir pendaftaran dan kelengkapan lainnya dapat dilihat di website:

UII


Atau download berkas-berkasnya Di Bawah Ini:

Persyaratan


Formulir Pendaftaran


Curiculum Vitae


Surat Pernyataan


Rekomendasi Dosen Senior

Sang Pencetus Larangan Masjid Di Swiss Itu Kini Masuk Islam

Senin, 01/02/2010 13:37 WIB


Daniel Streich, politikus Swiss, yang tenar karena kampanye
menentang pendirian masjid di negaranya, tanpa diduga-duga, memeluk
Islam.
Streich merupakan seorang politikus terkenal, dan ia adalah orang
pertama yang meluncurkan perihal larangan kubah masjid, dan bahkan
mempunyai ide untuk menutup masjid-masjid di Swiss. Ia berasal dari
Partai Rakyat Swiss (SVP). Deklarasi konversi Streich ke Islam membuat
heboh Swiss.
Streich mempropagandakan anti-gerakan Islam begitu meluas ke
senatero negeri. Ia menaburkan benih-benih kemarahan dan cemoohan bagi
umat Islam di Negara itu, dan membuka jalan bagi opini publik terhadap
mimbar dan kubah masjid.
Tapi sekarang Streich telah menjadi seorang pemeluk Islam. Tanpa
diduganya sama sekali, pemikiran anti-Islam yang akhirnya membawanya
begitu dekat dengan agama ini. Streich bahkan sekarang mempunyai
keinginan untuk membangun masjid yang paling indah di Eropa di Swiss.
Yang paling menarik dalam hal ini adalah bahwa pada saat ini ada
empat masjid di Swiss dan Streich ingin membuat masjid yang kelima. Ia
mengakui ingin mencari “pengampunan dosanya� yang telah meracuni Islam.
Sekarang adalah fakta bahwa larangan kubah masjid telah memperoleh
status hukum.
Abdul Majid Aldai, presiden OPI, sebuah LSM, bekerja untuk
kesejahteraan Muslim, mengatakan bahwa orang Eropa sebenarnya memiliki
keinginan yang besar untuk mengetahui tentang Islam. Beberapa dari
mereka ingin tahu tentang hubungan antara Islam dan terorisme; sama
halnya dengan Streich. Ceritanya, ternyata selama konfrontasi, Streich
mempelajari Alquran dan mulai memahami Islam.
Streich adalah seorang anggota penting Partai Rakyat Swiss (SVP). Ia
mempunyai posisi penting dan pengaruhnya menentukan kebijakan partai.
Selain petisinya tentang kubah masjid itu, ia juga pernah memenangkan
militer di Swiss Army karena popularitasnya.
Lahir di sebuah keluarga Kristen, Streich melakukan studi
komprehensif Islam semata-mata untuk memfitnah Islam, tapi ajaran Islam
memiliki dampak yang mendalam pada dirinya. Akhirnya ia malah antipati
terhadap pemikirannya sendiri dan dari kegiatan politiknya, dan dia
memeluk Islam. Streich sendiri kemdian disebut oleh SVO sebagai setan.
Dulu, ia mengatakan bahwa ia sering meluangkan waktu membaca Alkitab
dan sering pergi ke gereja, tapi sekarang ia membaca Alquran dan
melakukan salat lima waktu setiap hari. Dia membatalkan keanggotaannya
di partai dan membuat pernyataan publik tentang ia masuk Islam. Streich
mengatakan bahwa ia telah menemukan kebenaran hidup dalam Islam, yang
tidak dapat ia temukan dalam agama sebelumnya.


Sumber:
www.lintasberita.com/Dunia/Berita-Dunia/daniel-streich-pencetus-larangan-masjid-di-swiss-kini-justru-masuk-islam

Kesederhanaan Pangkal Kebaikan

Berita cukuk mengagetkan diri saya ketika membacanya di sebuah website ternama. Orang bisa jatuh kapan saja dan di mana saja. Terkadang kejatuhan itu tidak disangka oleh orang banyak. Bahkan orang yang jatuh itu sendiri terkadang tidak merasa kalau dirinya bisa jatuh.
Setelah saya cari beritanya, ternyata kesombongand diri yang menjadikan kejatuhannya. Merasa lebih baik, lebih hebat, lebih bersih, lebih manhaji.
Menganggap orang yang lebh muda tidak bisa menghormatinya, atau lebih jelek dari dirinya.
Tanpa disadari telah dihinggapi sebuah penyakit yang menghancurkan semua makhluq, penyakit kibr.
Kesederhanaan adalah pangkal dari semua kebaikan. Jadikan diri anda berpikir sederhana, bersikap sederhana dan berbuat sederhana. Atau bahasa hadistnya Al Qoshd.

Kamis, 04 Juni 2009

Pengajian " Rumah Tangga"

Hari minggu 31 Mei 2009 yang lalu saya mengisi pengajian. Pengajian ini baru berjalan 2 bulan. Alhamdulillah, dengan inayah dari Allah swt. pengajian itu berjalan. Pada awalnya yang ingin ikut majelis ta'lim itu 8 orang. Namun karena berbagai hal mereka tidak bisa hadir semua.
Pada awalnya yang datang bergantian, tidak pernah kompak bisa datang semua 8 orang. Lama kelamaan yang bisa komitmen hadir hanya 4 orang. It's ok. Bagi saya tidak ada masalah. Hanya masalah efisiensi saja, no more. Karena pada hakekatnya hidayah adalah "otoritas" Allah. Manusia hanya berusaha. Alhamdulillah pengajian itu sudah berjalalan dua bulan. Lumayan kan??
Sejak awal, saya mengisi pengajian ini dengan menyampaikan materi dasar-dasar keislaman, aqidah. Kita tahu, materi aqidah cukup berat pencernaan dan perenungannya. Karena aqidah menyampaikan ma'any.
Minggu yang lalu, saya selingi dengan kerumah tanggaan. Tanggapanya?? Luar biasa. Bapak-bapak yang sudah berputra bahkan ada yang hampir bercucu pun, sangat antusias dengan materi itu. Suasananya pun hidup dan dinamis, karena semua bisa sharing pengalaman. Subhanallah.
Untuk beberapa pertemuan yang akan datang, materinya masih sekitar rumah tangga. Ada yang berminat gabung??? Ada yang tidak setuju dengan tulisan ini??

Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com

Selasa, 02 Juni 2009

Menakar Peran Publik Muslimah

Di era globalisasi ini terjadi dua fenomena yang bertentangan dalam melihat peran publik muslimah.
Di satu pihak gerakan feminisme menuntut adanya kebebasan wanita untuk menentukan nasibnya sendiri, dan ingin melepaskan diri dari masyarakat। Seolah-olah wanita tertindas dan harus menuntut kebebasan itu, bersaing dengan laki-laki, yang dikesankan sebagai pembuat belenggu bagi wanita. Sehingga masyarakat ini terbagi menjadi dua,yaitu:
- masyarakat laki-laki
- masyarakat perempuan.
Perempuan menuntut agar disamakan dengan laki-laki dalam segala segi .
Di sisi lain ada penyeru, yang menyerukan muslimah agar kembali ke dalam rumah dan tidak perlu ada peran publik yang diperankan, sehingga terkungkung di rumah dengan alasan berperan sebagai pendidik anak dan generasi, begitulah yang diajarkan oleh Islam dan di contohkan oleh Rasulullah saw., begitu kata mereka.
Telah hilang dari pikirannya peran yang dilakukan oleh umahatul mu’minin dalam mendampingi Rasulullah saw berperang, mengajar para muslimah, mendidik anak-anak muslimin.
Berapa banyak para shahabiat yang ikut ke medan jihad merawat prajurit-prajurit muslimin yang terluka, bahkan tidak sedikit yang ikut mengangkat senjata berjihad di jalan Allah, tersebutlah Ummu Haram bintu Milhan, Khoulah binti Al Azwar yang membantu pasukan Kholid in Walid dalam perang Qodisiyah melawan orang-orang Romawi......


Bagaimana sebenarnya peran publik muslimah??

Perlunya Definisi
Untuk melihat hal ini secara obyektif, tidak ekstrim maka perlu didefinisikan. Dari situ mudah kiranya untuk menakar peran publik muslimah. Dengan definisi tidak akan timbul perdebatan dan perbedaan dalam masalah hukumnya. Apakah peran publik itu sangat ekstrim yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat islam, ataukah peran publik itu masih dalam kerangka syariat?? Apakah yang dimaksud dengan peran publik itu, dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab wanita yang lain ataukah peran publik itu masih dalam kerangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab wanita muslimah??? Apakah peran itu masih dalam kemampuan wanita muslimah itu sendiri ataukah sudah melampaui batas kemampuannya?? Apakah Peran publik itu sesuai dengan fitrah wanita muslimah ataukah sudah keluar dari fitrah??? Apakah peran itu sekedar tampil ataukah mesti berdasarkan kapabilitas???
Peran publik muslimah yang dibolehkan oleh Islam adalah peran publik yang masih dalam kordidor syariat Islam, menjaga moralitas dan menjauhi fitnah, dengan tetap menjaga keseimbangan tugas wanita tanpa mengorbankan tugas-tugas yang lain, masih dalam batas kemampuan muslimah, sesuai dengan fitrah wanita, dan tidak mendhalimi wanita itu sendiri.
Namun bila sudah keluar dari hal-hal di atas, maka jelas bukan peran yang dinginkan oleh Islam.

Menakar peran publik muslimah
Peran publik muslimah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam. Salah satu dari karakteristik Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Kehidupan individu, kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga adanya tanggung jawab individu muslim. Dari karakteristik dan tanggung jawab inilah memunculkan peran publik individu muslim dan muslimah.

Dilihat dari aspek yang dicakup oleh Islam sebagai konsep kehidupan; individu,sosial, keluarga, jasmani dan rohani, menuntut peran publik muslimah. Sebab peran publik adalah bagian daripada cakupan aspek sosial Islam.
Sedangkan dari segi tanggung jawab masing-masing individu muslim dan muslimah memiliki tanggung jawab yang sama; tanggung jawab itu antara lain:
1. Tanggung jawab kepada Allah; yaitu masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang mesti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini tidak boleh kita abaikan apalagi kita tinggalkan. Hukumnya bermacam-macam ada yang wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Setiap hukum harus dilaksanakan sesuai dengan porsinya. Tidak boleh ekstrim, harus sederhana. Di sini wanita berperan sebagai seorang hamba dari Tuhannya dan ia harus mempertanggung-jawabkannya.

2. Tanggung jawab kepada individu, Islam juga menuntut pribadi muslim baik laki-laki maupun perempuan agar bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Tidak diperbolehkan oleh Islam mengabaikan diri sendiri untuk orang lain. Tanggung jawab ini tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pribadi itu sendiri yang bisa memenuhi tanggung jawab individunya. Tanggung jawab ini akan ditanyakan kelak di akhirat. Dan tidak ada orang lain yang bisa mempertanggung jawabkannya. Di sini wanita berperan sebagai seorang individu manusia, yang mesti hidup dengan kapasitas kemanusiaannya.

3. Tanggung jawab kepada keluarga; keluarga adalah bagian dari lembaga cakupan Islam. Islam tidak menganjurkan hidup membujang, bahkan melarangnya. Tanggung jawab untuk mewujudkan lembaga keluarga dan mempertahankan kelansungannya adalah tanggung jawab setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. Tanggungjawab ini disesuaikan dengan peran masing-masing individu, sebagai suami,istri, anak dan lain sebagainya. Masing-masing ada porsinya dan harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Bila ada kelalaian dalam tanggungjawab maupun kejanggalan dalam lembaga ini,maka akan menggoncangkan sendi-sendi Islam yang lain. Di sini wanita berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dan sebagai seorang anak. Ketiga-tiga peran tersebut mesti di jalaninya dengan seimbang.
4. Tanggung jawab kepada profesi, Islam menginginkan semua individunya produktif, dan tidak menginginkan menganggur. Kemandirian itu dicontohkan oleh para nabi dan Rasulullah Saw, sebagai Rasul yang menjadi pemimpin para Rasul tersebut. Dalam Islam juga mengenal hukum fardhu kifayah yaitu bila sudah ada yang melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka seluruh masyarakat Islam tidak berdosa. Namun sebaliknya, bila tidak ada satupun yang melaksanakan kewajiban tersebut,maka semua masyarakat muslim akan berdosa. Profesi ibarat pembagian tugas dalam masyarakat. Semua keperluan yang diperlukan oleh masyarakat untuk mempetahankan kelangsungan hidup yang Islami harus di adakan dan ada yang mengambil alih profesi tersebut. Kemudian dilaksanakan dengan baik dan profesional. Di sini wanita muslimah berperan sebagai seorang profesional yang produktif dan berpenghasilan. Terlebih-lebih bila ia sebagai tulang punggung keluarga dengan kondisi yang memaksakan dirinya untuk bekerja, seperti seorang wanita yang ditinggal suaminya, tidak ada saudara yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya, harus melangsungkan pendidikan anak-anaknya yang memerlukan biaya untuk mendidik dan membesarkannya.
5. Tanggung jawab kepada masyarakat, Salah satu aspek kehidupan yang dicakup oleh Islam adalah kehidupan bermasyarakat. Islam tidak hanya mencukupkan dalam konsep individu dan keluarga, akan tetapi cakupannyajuga kehidupan sosial kemasyarakatan yang meliputi struktural kenegaraan. Karena mengatur negara adalah mengatur masyarakat, dan itu termasuk cakupan aspek kehidupan Islam. Konsep Amar ma’ruf nahi Mungkar atau yang biasanya disebut dengan hisbah, jelas sekali menjelaskan hal ini. Individu muslim dan muslimah bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sehat, baik dan bersih moral dan materialnya masyarakat. Islam tidak mengabaikan kehidupan bermasyarakat dan hanya memperhatikan kehidupan individual seperti gaya hidup kapitalis. Begitu juga ia juga tidak memenggal hal-hak individu dan hanya memperhatikan hal-hal sosial masyarakat sebagaimana halnya konsep sosialis. Islam memperhatikan kedua-duanya dengan penuh keadilan dan keseimbangan. Di sini wanita berperan sebagai anggota masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya, dan mesti turut serta bertanggung jawab dengan kebaikan masyarakatnya.
6. Tanggung jawab kepada sejarah; Islam juga menuntut kepada individu muslim dan muslimah untuk memiliki tanggung jawab terhadap sejarah. Karena baik dan buruknya sejarah kemanusiaan ditentukan oleh sang pelaku sejarah tersebut. Islam menuntut individunya untuk menjadi pelaku sejarah yang baik dan benar. Bukan sekedar menjadi orang yang bersejarah dan dikenang orang. Bukankah Rasulullah saw. menjelaskan kepada kita perihal tiga perkara yang tidak akan terputus bagi seorang muslim dan muslimah walau ia telah meninggal?? Yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang akan senantiasa mendoakan kedua orang atuanya. Amal jariah yang baik adalah amal jariah yang berkesinambungan dan senantiasa mendatangkan pahala, walau sudah berganti generasi, berganti kurun dan berganti masa ribuan tahun. Ilmu yang bermanfaat, yang baik, yang diinginkan oleh Islam adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak, bermanfaat bagi kemanusiaan, yang bermanfaat dan berkesinambungan dari masa-ke masa. Jadi bukan hanya bermanfaat untuk sesaat atau hanya satu generasi saja. Begitu juga anak yang sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Anak sholeh yang baik adalah anak yang sholeh, yang melahirkan cucu-cucu yang sholeh, yang melahirkan cicit-cicit dan keturunan yang sholeh hingga hari kiamat. Bukan hanya anak yang sholeh yang berdo’a untuk kedua orang tuanya, namun ia melahirkan cucu yang tidak sholeh, bahkan cicit dan keturunan yang tidak menunjukkan sama sekali kesholehan. Tentu bukan yang demikian itu yang diinginkan oleh Islam. Dari sini Islam menuntut individu muslim untuk bertanggung jawab terhadap sejarah,dan mengukir sejarah yang baik, untuk kebaikan keturunan, generasi mendatang dan kebaikan dirinya dikahirat kelak. Di sini wanita berperan sebagai pelaku sejarah dan penentu dari sejaran, bahkan sebagai pembuat sejarah itu sendiri.
Demikianlah tanggung jawab yang mesti diemban oleh individu muslim dan muslimah. Dari sinilah kita melihat dan menakar peran publik muslimah.
Maksudnya, bahwasannya peran publik bukanlah peran tersendiri,akan tetapi sebuah peran yang berkaitan dengan peran-peran yang lain. Dan harus dijalankan secara seimbang.
Peran publik ini kalau bisa realisasikan formatnya antara lain:
1. Peran Sosial.
Seorang muslimah harus melaksanakan peran sosial ini, yaitu peran seorang muslimah ikut berpartisipasi membangun mental masyarakat. Terutama masyarakat perempuan itu sendiri. Apabila wanita muslimah tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat dan acuh tak acuh terhadap kondisi itu, maka ia tidak melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Islam kepadanya. Apatah lagi, bila muslimah tersebut memiliki kapabilitas yang cukup, sarana dan prasarana yang mendukung dan memadai. Seperti membantu anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, baik bantuan moral, material, maupun tenaga.
2. Peran Politik.
Seorang wanita muslimah juga memiliki tanggung jawab politik di masyarakat. Sebab politik adalah seni mengatur masyarakat, dan wanita adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari masyarakat, maka ia juga memiliki peran politis tersebut. Berbagai kebijakan sosial di masyarakat bila wanita muslimah tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut,maka akan sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Di era demokrasi seperti sekarang ini, jumlah wanita jelas lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lelaki. Kelompok Islam Phobia mengerahkan wanita-wanitanya untuk ikut mendukung perjuangan politis mereka dengan berbagai macam cara, hal itu tidak bisa diimbangi kecuali dengan melibatkan muslimah dalam peran politis. Terutama untuk menjawab hal-hal kesalah pahaman terhadap Islam yang selalu digembar-gemborkan oleh kelompok Islam phobia dengan dalih membela wanita dsb. Pembelaan itu akan lebih kuat bila yang melakukan adalah wanita muslimah.
3. Peran Pendidikan masyarakat.
Dalam mendidik masyarakat, tidak cukup hanya dengan melibatkan laki-laki saja, akan tetapi dituntut peran muslimah untuk melaksanakan pendidikan masyarakat, entah itu berupa pengajian, taman kanak-kanak dan lain sebagainya. Apalagi bila peran tersebut bila berhubungan dengan kaum wanita itu sendiri.

4. Peran profesi
Hendaknya wanita juga memiliki peran profesi yang dijalankan di masyarakat, apalagi bila profesi tersebut berhubungan dengan kebutuhan dan keperluan wanita. Sungguh sebuah kesalahan masyarakat muslim bila memprofesikan laki-laki dalam profesi yang seharusnya wanita yang layak melaksanakannya, dan kesalahan wanita bila tidak mengambil peran tersebut.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan
Dalam melaksanakan peran publik wanita muslimah, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah dan masyarakat muslim, antara lain:
1. Dalam melaksanakan peran publik tidak terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tabarruj, ikhtilath yang diharamkan, kholwat, menimbulkan fitnah. Sebab tidak ada fitnah bagi laki-laki lebih besar daripada wanita, dan tidak ada fitnah besar bagi wanita lebih besar daripada laki-laki.
2. Tetap menjaga keseimbangan dalam menjalankan tugas-tugas wanita; sebab wanita bukan hanya memiliki satu kewajiban; kewajiban sebagai seorang hamba Allah, sebagai, dirinya sendiri, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak, sebagai anggota masyarakat dan lain sebagainya.
3. Memperhatikan prioritas bagi wanita muslimah tersebut. Sebab skala prioritas antara satu muslimah dengan muslimah yang lain tidaklah sama; hal itu disesuaikan dengan usia, kondisi, kapabilitas dan lain sebagainya.
4. Peran publik yang dijalani hendaknya masih dalam kemampuan wanita muslimah untuk menjalaninya, bukan justru mendhaliminya. Kemampuan wanita muslimah yang satu dengan yang lain berbeda.
5. Wanita muslimah yang mengambil salah satu peran publik tersebut memang memiliki kapabilitas untuk itu. Bukan sekedar tampil.
6. Peran tersebut dijalankan dengan dukungan fasilitas yang memadai, baik itu hard facility (fasilitas fisik) maupun soft facility ( fasilitas lunak). Sehingga peran yang dilakukan tersebut mendatangkan manfaat bagi wanita itu maupun bermanfaat bagi masyarakat.
7. Peran publik wanita muslimah tidaklah sama kadarnya, hal itu disesuaikan dengan kondisi masing-masing wanita muslimah; kapabilitas, kemampuan fisik, fasilitas, prioritas dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa diharuskan dalam satu format dan disamaratakan antara yang satu dan yang lain.
Demikianlah peran publik muslimah dan takarannya, semoga kita bisa melaksanakannya dengan seimbang . Wallahu a’lam bishowab.

Islamabad, 23/1/2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com
Tulisan ini diterbitkan oleh Dinamika majalah Forum Ukhuwah Mahasiswa Indonesia, Islamabad, Pakistan.

Posted by Masturi at 5:38 AM
Labels: Fiqih Dakwah

Menakar Peran Publik Muslimah

Hasanah Ubaidillah Aziz,  Lc. MPhil  pernah menulis sebuah makalah saat menjadi mahasiswi di Internasional Islamic University Islamabad Pakistan. 
Makalah ini didiskusikan di hadapan mahasiswi Indonesia di Islamabad saat itu.  Sayang bila tidak dipublikasikan. Selamat membaca: 


 Di era globalisasi ini terjadi dua fenomena yang bertentangan dalam melihat peran publik muslimah.
Di satu pihak gerakan feminisme menuntut adanya kebebasan wanita untuk menentukan nasibnya sendiri, dan ingin melepaskan diri dari masyarakat। Seolah-olah wanita tertindas dan harus menuntut kebebasan itu, bersaing dengan laki-laki, yang dikesankan sebagai pembuat belenggu bagi wanita. Sehingga masyarakat ini terbagi menjadi dua,yaitu:
- masyarakat laki-laki
- masyarakat perempuan.
Perempuan menuntut agar disamakan dengan laki-laki dalam segala segi .
Di sisi lain ada penyeru, yang menyerukan muslimah agar kembali ke dalam rumah dan tidak perlu ada peran publik yang diperankan, sehingga terkungkung di rumah dengan alasan berperan sebagai pendidik anak dan generasi, begitulah yang diajarkan oleh Islam dan di contohkan oleh Rasulullah saw., begitu kata mereka.
Telah hilang dari pikirannya peran yang dilakukan oleh umahatul mu’minin dalam mendampingi Rasulullah saw berperang, mengajar para muslimah, mendidik anak-anak muslimin.
Berapa banyak para shahabiat yang ikut ke medan jihad merawat prajurit-prajurit muslimin yang terluka, bahkan tidak sedikit yang ikut mengangkat senjata berjihad di jalan Allah, tersebutlah Ummu Haram bintu Milhan, Khoulah binti Al Azwar yang membantu pasukan Kholid in Walid dalam perang Qodisiyah melawan orang-orang Romawi......


Bagaimana sebenarnya peran publik muslimah??

Perlunya Definisi
Untuk melihat hal ini secara obyektif, tidak ekstrim maka perlu didefinisikan. Dari situ mudah kiranya untuk menakar peran publik muslimah. Dengan definisi tidak akan timbul perdebatan dan perbedaan dalam masalah hukumnya. Apakah peran publik itu sangat ekstrim yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat islam, ataukah peran publik itu masih dalam kerangka syariat?? Apakah yang dimaksud dengan peran publik itu, dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab wanita yang lain ataukah peran publik itu masih dalam kerangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab wanita muslimah??? Apakah peran itu masih dalam kemampuan wanita muslimah itu sendiri ataukah sudah melampaui batas kemampuannya?? Apakah Peran publik itu sesuai dengan fitrah wanita muslimah ataukah sudah keluar dari fitrah??? Apakah peran itu sekedar tampil ataukah mesti berdasarkan kapabilitas???
Peran publik muslimah yang dibolehkan oleh Islam adalah peran publik yang masih dalam kordidor syariat Islam, menjaga moralitas dan menjauhi fitnah, dengan tetap menjaga keseimbangan tugas wanita tanpa mengorbankan tugas-tugas yang lain, masih dalam batas kemampuan muslimah, sesuai dengan fitrah wanita, dan tidak mendhalimi wanita itu sendiri.
Namun bila sudah keluar dari hal-hal di atas, maka jelas bukan peran yang dinginkan oleh Islam.

Menakar peran publik muslimah
Peran publik muslimah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam. Salah satu dari karakteristik Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Kehidupan individu, kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga adanya tanggung jawab individu muslim. Dari karakteristik dan tanggung jawab inilah memunculkan peran publik individu muslim dan muslimah.

Dilihat dari aspek yang dicakup oleh Islam sebagai konsep kehidupan; individu,sosial, keluarga, jasmani dan rohani, menuntut peran publik muslimah. Sebab peran publik adalah bagian daripada cakupan aspek sosial Islam.
Sedangkan dari segi tanggung jawab masing-masing individu muslim dan muslimah memiliki tanggung jawab yang sama; tanggung jawab itu antara lain:
1. Tanggung jawab kepada Allah; yaitu masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang mesti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini tidak boleh kita abaikan apalagi kita tinggalkan. Hukumnya bermacam-macam ada yang wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Setiap hukum harus dilaksanakan sesuai dengan porsinya. Tidak boleh ekstrim, harus sederhana. Di sini wanita berperan sebagai seorang hamba dari Tuhannya dan ia harus mempertanggung-jawabkannya.

2. Tanggung jawab kepada individu, Islam juga menuntut pribadi muslim baik laki-laki maupun perempuan agar bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Tidak diperbolehkan oleh Islam mengabaikan diri sendiri untuk orang lain. Tanggung jawab ini tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pribadi itu sendiri yang bisa memenuhi tanggung jawab individunya. Tanggung jawab ini akan ditanyakan kelak di akhirat. Dan tidak ada orang lain yang bisa mempertanggung jawabkannya. Di sini wanita berperan sebagai seorang individu manusia, yang mesti hidup dengan kapasitas kemanusiaannya.

3. Tanggung jawab kepada keluarga; keluarga adalah bagian dari lembaga cakupan Islam. Islam tidak menganjurkan hidup membujang, bahkan melarangnya. Tanggung jawab untuk mewujudkan lembaga keluarga dan mempertahankan kelansungannya adalah tanggung jawab setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. Tanggungjawab ini disesuaikan dengan peran masing-masing individu, sebagai suami,istri, anak dan lain sebagainya. Masing-masing ada porsinya dan harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Bila ada kelalaian dalam tanggungjawab maupun kejanggalan dalam lembaga ini,maka akan menggoncangkan sendi-sendi Islam yang lain. Di sini wanita berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dan sebagai seorang anak. Ketiga-tiga peran tersebut mesti di jalaninya dengan seimbang.
4. Tanggung jawab kepada profesi, Islam menginginkan semua individunya produktif, dan tidak menginginkan menganggur. Kemandirian itu dicontohkan oleh para nabi dan Rasulullah Saw, sebagai Rasul yang menjadi pemimpin para Rasul tersebut. Dalam Islam juga mengenal hukum fardhu kifayah yaitu bila sudah ada yang melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka seluruh masyarakat Islam tidak berdosa. Namun sebaliknya, bila tidak ada satupun yang melaksanakan kewajiban tersebut,maka semua masyarakat muslim akan berdosa. Profesi ibarat pembagian tugas dalam masyarakat. Semua keperluan yang diperlukan oleh masyarakat untuk mempetahankan kelangsungan hidup yang Islami harus di adakan dan ada yang mengambil alih profesi tersebut. Kemudian dilaksanakan dengan baik dan profesional. Di sini wanita muslimah berperan sebagai seorang profesional yang produktif dan berpenghasilan. Terlebih-lebih bila ia sebagai tulang punggung keluarga dengan kondisi yang memaksakan dirinya untuk bekerja, seperti seorang wanita yang ditinggal suaminya, tidak ada saudara yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya, harus melangsungkan pendidikan anak-anaknya yang memerlukan biaya untuk mendidik dan membesarkannya.
5. Tanggung jawab kepada masyarakat, Salah satu aspek kehidupan yang dicakup oleh Islam adalah kehidupan bermasyarakat. Islam tidak hanya mencukupkan dalam konsep individu dan keluarga, akan tetapi cakupannyajuga kehidupan sosial kemasyarakatan yang meliputi struktural kenegaraan. Karena mengatur negara adalah mengatur masyarakat, dan itu termasuk cakupan aspek kehidupan Islam. Konsep Amar ma’ruf nahi Mungkar atau yang biasanya disebut dengan hisbah, jelas sekali menjelaskan hal ini. Individu muslim dan muslimah bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sehat, baik dan bersih moral dan materialnya masyarakat. Islam tidak mengabaikan kehidupan bermasyarakat dan hanya memperhatikan kehidupan individual seperti gaya hidup kapitalis. Begitu juga ia juga tidak memenggal hal-hak individu dan hanya memperhatikan hal-hal sosial masyarakat sebagaimana halnya konsep sosialis. Islam memperhatikan kedua-duanya dengan penuh keadilan dan keseimbangan. Di sini wanita berperan sebagai anggota masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya, dan mesti turut serta bertanggung jawab dengan kebaikan masyarakatnya.
6. Tanggung jawab kepada sejarah; Islam juga menuntut kepada individu muslim dan muslimah untuk memiliki tanggung jawab terhadap sejarah. Karena baik dan buruknya sejarah kemanusiaan ditentukan oleh sang pelaku sejarah tersebut. Islam menuntut individunya untuk menjadi pelaku sejarah yang baik dan benar. Bukan sekedar menjadi orang yang bersejarah dan dikenang orang. Bukankah Rasulullah saw. menjelaskan kepada kita perihal tiga perkara yang tidak akan terputus bagi seorang muslim dan muslimah walau ia telah meninggal?? Yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang akan senantiasa mendoakan kedua orang atuanya. Amal jariah yang baik adalah amal jariah yang berkesinambungan dan senantiasa mendatangkan pahala, walau sudah berganti generasi, berganti kurun dan berganti masa ribuan tahun. Ilmu yang bermanfaat, yang baik, yang diinginkan oleh Islam adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak, bermanfaat bagi kemanusiaan, yang bermanfaat dan berkesinambungan dari masa-ke masa. Jadi bukan hanya bermanfaat untuk sesaat atau hanya satu generasi saja. Begitu juga anak yang sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Anak sholeh yang baik adalah anak yang sholeh, yang melahirkan cucu-cucu yang sholeh, yang melahirkan cicit-cicit dan keturunan yang sholeh hingga hari kiamat. Bukan hanya anak yang sholeh yang berdo’a untuk kedua orang tuanya, namun ia melahirkan cucu yang tidak sholeh, bahkan cicit dan keturunan yang tidak menunjukkan sama sekali kesholehan. Tentu bukan yang demikian itu yang diinginkan oleh Islam. Dari sini Islam menuntut individu muslim untuk bertanggung jawab terhadap sejarah,dan mengukir sejarah yang baik, untuk kebaikan keturunan, generasi mendatang dan kebaikan dirinya dikahirat kelak. Di sini wanita berperan sebagai pelaku sejarah dan penentu dari sejaran, bahkan sebagai pembuat sejarah itu sendiri.
Demikianlah tanggung jawab yang mesti diemban oleh individu muslim dan muslimah. Dari sinilah kita melihat dan menakar peran publik muslimah.
Maksudnya, bahwasannya peran publik bukanlah peran tersendiri,akan tetapi sebuah peran yang berkaitan dengan peran-peran yang lain. Dan harus dijalankan secara seimbang.
Peran publik ini kalau bisa realisasikan formatnya antara lain:
1. Peran Sosial.
Seorang muslimah harus melaksanakan peran sosial ini, yaitu peran seorang muslimah ikut berpartisipasi membangun mental masyarakat. Terutama masyarakat perempuan itu sendiri. Apabila wanita muslimah tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat dan acuh tak acuh terhadap kondisi itu, maka ia tidak melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Islam kepadanya. Apatah lagi, bila muslimah tersebut memiliki kapabilitas yang cukup, sarana dan prasarana yang mendukung dan memadai. Seperti membantu anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, baik bantuan moral, material, maupun tenaga.
2. Peran Politik.
Seorang wanita muslimah juga memiliki tanggung jawab politik di masyarakat. Sebab politik adalah seni mengatur masyarakat, dan wanita adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari masyarakat, maka ia juga memiliki peran politis tersebut. Berbagai kebijakan sosial di masyarakat bila wanita muslimah tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut,maka akan sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Di era demokrasi seperti sekarang ini, jumlah wanita jelas lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lelaki. Kelompok Islam Phobia mengerahkan wanita-wanitanya untuk ikut mendukung perjuangan politis mereka dengan berbagai macam cara, hal itu tidak bisa diimbangi kecuali dengan melibatkan muslimah dalam peran politis. Terutama untuk menjawab hal-hal kesalah pahaman terhadap Islam yang selalu digembar-gemborkan oleh kelompok Islam phobia dengan dalih membela wanita dsb. Pembelaan itu akan lebih kuat bila yang melakukan adalah wanita muslimah.
3. Peran Pendidikan masyarakat.
Dalam mendidik masyarakat, tidak cukup hanya dengan melibatkan laki-laki saja, akan tetapi dituntut peran muslimah untuk melaksanakan pendidikan masyarakat, entah itu berupa pengajian, taman kanak-kanak dan lain sebagainya. Apalagi bila peran tersebut bila berhubungan dengan kaum wanita itu sendiri.

4. Peran profesi
Hendaknya wanita juga memiliki peran profesi yang dijalankan di masyarakat, apalagi bila profesi tersebut berhubungan dengan kebutuhan dan keperluan wanita. Sungguh sebuah kesalahan masyarakat muslim bila memprofesikan laki-laki dalam profesi yang seharusnya wanita yang layak melaksanakannya, dan kesalahan wanita bila tidak mengambil peran tersebut.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan
Dalam melaksanakan peran publik wanita muslimah, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah dan masyarakat muslim, antara lain:
1. Dalam melaksanakan peran publik tidak terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tabarruj, ikhtilath yang diharamkan, kholwat, menimbulkan fitnah. Sebab tidak ada fitnah bagi laki-laki lebih besar daripada wanita, dan tidak ada fitnah besar bagi wanita lebih besar daripada laki-laki.
2. Tetap menjaga keseimbangan dalam menjalankan tugas-tugas wanita; sebab wanita bukan hanya memiliki satu kewajiban; kewajiban sebagai seorang hamba Allah, sebagai, dirinya sendiri, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak, sebagai anggota masyarakat dan lain sebagainya.
3. Memperhatikan prioritas bagi wanita muslimah tersebut. Sebab skala prioritas antara satu muslimah dengan muslimah yang lain tidaklah sama; hal itu disesuaikan dengan usia, kondisi, kapabilitas dan lain sebagainya.
4. Peran publik yang dijalani hendaknya masih dalam kemampuan wanita muslimah untuk menjalaninya, bukan justru mendhaliminya. Kemampuan wanita muslimah yang satu dengan yang lain berbeda.
5. Wanita muslimah yang mengambil salah satu peran publik tersebut memang memiliki kapabilitas untuk itu. Bukan sekedar tampil.
6. Peran tersebut dijalankan dengan dukungan fasilitas yang memadai, baik itu hard facility (fasilitas fisik) maupun soft facility ( fasilitas lunak). Sehingga peran yang dilakukan tersebut mendatangkan manfaat bagi wanita itu maupun bermanfaat bagi masyarakat.
7. Peran publik wanita muslimah tidaklah sama kadarnya, hal itu disesuaikan dengan kondisi masing-masing wanita muslimah; kapabilitas, kemampuan fisik, fasilitas, prioritas dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa diharuskan dalam satu format dan disamaratakan antara yang satu dan yang lain.
Demikianlah peran publik muslimah dan takarannya, semoga kita bisa melaksanakannya dengan seimbang . Wallahu a’lam bishowab.

Islamabad, 23/1/2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com
Tulisan ini diterbitkan oleh Dinamika majalah Forum Ukhuwah Mahasiswa Indonesia, 

Reposted in this blog from St. Aidan's College - Durham University. 
By : Nashih Amin
Di era globalisasi ini terjadi dua fenomena yang bertentangan dalam melihat peran publik muslimah.
Di satu pihak gerakan feminisme menuntut adanya kebebasan wanita untuk menentukan nasibnya sendiri, dan ingin melepaskan diri dari masyarakat। Seolah-olah wanita tertindas dan harus menuntut kebebasan itu, bersaing dengan laki-laki, yang dikesankan sebagai pembuat belenggu bagi wanita. Sehingga masyarakat ini terbagi menjadi dua,yaitu:
- masyarakat laki-laki
- masyarakat perempuan.
Perempuan menuntut agar disamakan dengan laki-laki dalam segala segi .
Di sisi lain ada penyeru, yang menyerukan muslimah agar kembali ke dalam rumah dan tidak perlu ada peran publik yang diperankan, sehingga terkungkung di rumah dengan alasan berperan sebagai pendidik anak dan generasi, begitulah yang diajarkan oleh Islam dan di contohkan oleh Rasulullah saw., begitu kata mereka.
Telah hilang dari pikirannya peran yang dilakukan oleh umahatul mu’minin dalam mendampingi Rasulullah saw berperang, mengajar para muslimah, mendidik anak-anak muslimin.
Berapa banyak para shahabiat yang ikut ke medan jihad merawat prajurit-prajurit muslimin yang terluka, bahkan tidak sedikit yang ikut mengangkat senjata berjihad di jalan Allah, tersebutlah Ummu Haram bintu Milhan, Khoulah binti Al Azwar yang membantu pasukan Kholid in Walid dalam perang Qodisiyah melawan orang-orang Romawi......


Bagaimana sebenarnya peran publik muslimah??

Perlunya Definisi
Untuk melihat hal ini secara obyektif, tidak ekstrim maka perlu didefinisikan. Dari situ mudah kiranya untuk menakar peran publik muslimah. Dengan definisi tidak akan timbul perdebatan dan perbedaan dalam masalah hukumnya. Apakah peran publik itu sangat ekstrim yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat islam, ataukah peran publik itu masih dalam kerangka syariat?? Apakah yang dimaksud dengan peran publik itu, dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab wanita yang lain ataukah peran publik itu masih dalam kerangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab wanita muslimah??? Apakah peran itu masih dalam kemampuan wanita muslimah itu sendiri ataukah sudah melampaui batas kemampuannya?? Apakah Peran publik itu sesuai dengan fitrah wanita muslimah ataukah sudah keluar dari fitrah??? Apakah peran itu sekedar tampil ataukah mesti berdasarkan kapabilitas???
Peran publik muslimah yang dibolehkan oleh Islam adalah peran publik yang masih dalam kordidor syariat Islam, menjaga moralitas dan menjauhi fitnah, dengan tetap menjaga keseimbangan tugas wanita tanpa mengorbankan tugas-tugas yang lain, masih dalam batas kemampuan muslimah, sesuai dengan fitrah wanita, dan tidak mendhalimi wanita itu sendiri.
Namun bila sudah keluar dari hal-hal di atas, maka jelas bukan peran yang dinginkan oleh Islam.

Menakar peran publik muslimah
Peran publik muslimah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam. Salah satu dari karakteristik Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Kehidupan individu, kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga adanya tanggung jawab individu muslim. Dari karakteristik dan tanggung jawab inilah memunculkan peran publik individu muslim dan muslimah.

Dilihat dari aspek yang dicakup oleh Islam sebagai konsep kehidupan; individu,sosial, keluarga, jasmani dan rohani, menuntut peran publik muslimah. Sebab peran publik adalah bagian daripada cakupan aspek sosial Islam.
Sedangkan dari segi tanggung jawab masing-masing individu muslim dan muslimah memiliki tanggung jawab yang sama; tanggung jawab itu antara lain:
1. Tanggung jawab kepada Allah; yaitu masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang mesti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini tidak boleh kita abaikan apalagi kita tinggalkan. Hukumnya bermacam-macam ada yang wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Setiap hukum harus dilaksanakan sesuai dengan porsinya. Tidak boleh ekstrim, harus sederhana. Di sini wanita berperan sebagai seorang hamba dari Tuhannya dan ia harus mempertanggung-jawabkannya.

2. Tanggung jawab kepada individu, Islam juga menuntut pribadi muslim baik laki-laki maupun perempuan agar bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Tidak diperbolehkan oleh Islam mengabaikan diri sendiri untuk orang lain. Tanggung jawab ini tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pribadi itu sendiri yang bisa memenuhi tanggung jawab individunya. Tanggung jawab ini akan ditanyakan kelak di akhirat. Dan tidak ada orang lain yang bisa mempertanggung jawabkannya. Di sini wanita berperan sebagai seorang individu manusia, yang mesti hidup dengan kapasitas kemanusiaannya.

3. Tanggung jawab kepada keluarga; keluarga adalah bagian dari lembaga cakupan Islam. Islam tidak menganjurkan hidup membujang, bahkan melarangnya. Tanggung jawab untuk mewujudkan lembaga keluarga dan mempertahankan kelansungannya adalah tanggung jawab setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. Tanggungjawab ini disesuaikan dengan peran masing-masing individu, sebagai suami,istri, anak dan lain sebagainya. Masing-masing ada porsinya dan harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Bila ada kelalaian dalam tanggungjawab maupun kejanggalan dalam lembaga ini,maka akan menggoncangkan sendi-sendi Islam yang lain. Di sini wanita berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dan sebagai seorang anak. Ketiga-tiga peran tersebut mesti di jalaninya dengan seimbang.
4. Tanggung jawab kepada profesi, Islam menginginkan semua individunya produktif, dan tidak menginginkan menganggur. Kemandirian itu dicontohkan oleh para nabi dan Rasulullah Saw, sebagai Rasul yang menjadi pemimpin para Rasul tersebut. Dalam Islam juga mengenal hukum fardhu kifayah yaitu bila sudah ada yang melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka seluruh masyarakat Islam tidak berdosa. Namun sebaliknya, bila tidak ada satupun yang melaksanakan kewajiban tersebut,maka semua masyarakat muslim akan berdosa. Profesi ibarat pembagian tugas dalam masyarakat. Semua keperluan yang diperlukan oleh masyarakat untuk mempetahankan kelangsungan hidup yang Islami harus di adakan dan ada yang mengambil alih profesi tersebut. Kemudian dilaksanakan dengan baik dan profesional. Di sini wanita muslimah berperan sebagai seorang profesional yang produktif dan berpenghasilan. Terlebih-lebih bila ia sebagai tulang punggung keluarga dengan kondisi yang memaksakan dirinya untuk bekerja, seperti seorang wanita yang ditinggal suaminya, tidak ada saudara yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya, harus melangsungkan pendidikan anak-anaknya yang memerlukan biaya untuk mendidik dan membesarkannya.
5. Tanggung jawab kepada masyarakat, Salah satu aspek kehidupan yang dicakup oleh Islam adalah kehidupan bermasyarakat. Islam tidak hanya mencukupkan dalam konsep individu dan keluarga, akan tetapi cakupannyajuga kehidupan sosial kemasyarakatan yang meliputi struktural kenegaraan. Karena mengatur negara adalah mengatur masyarakat, dan itu termasuk cakupan aspek kehidupan Islam. Konsep Amar ma’ruf nahi Mungkar atau yang biasanya disebut dengan hisbah, jelas sekali menjelaskan hal ini. Individu muslim dan muslimah bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sehat, baik dan bersih moral dan materialnya masyarakat. Islam tidak mengabaikan kehidupan bermasyarakat dan hanya memperhatikan kehidupan individual seperti gaya hidup kapitalis. Begitu juga ia juga tidak memenggal hal-hak individu dan hanya memperhatikan hal-hal sosial masyarakat sebagaimana halnya konsep sosialis. Islam memperhatikan kedua-duanya dengan penuh keadilan dan keseimbangan. Di sini wanita berperan sebagai anggota masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya, dan mesti turut serta bertanggung jawab dengan kebaikan masyarakatnya.
6. Tanggung jawab kepada sejarah; Islam juga menuntut kepada individu muslim dan muslimah untuk memiliki tanggung jawab terhadap sejarah. Karena baik dan buruknya sejarah kemanusiaan ditentukan oleh sang pelaku sejarah tersebut. Islam menuntut individunya untuk menjadi pelaku sejarah yang baik dan benar. Bukan sekedar menjadi orang yang bersejarah dan dikenang orang. Bukankah Rasulullah saw. menjelaskan kepada kita perihal tiga perkara yang tidak akan terputus bagi seorang muslim dan muslimah walau ia telah meninggal?? Yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang akan senantiasa mendoakan kedua orang atuanya. Amal jariah yang baik adalah amal jariah yang berkesinambungan dan senantiasa mendatangkan pahala, walau sudah berganti generasi, berganti kurun dan berganti masa ribuan tahun. Ilmu yang bermanfaat, yang baik, yang diinginkan oleh Islam adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak, bermanfaat bagi kemanusiaan, yang bermanfaat dan berkesinambungan dari masa-ke masa. Jadi bukan hanya bermanfaat untuk sesaat atau hanya satu generasi saja. Begitu juga anak yang sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Anak sholeh yang baik adalah anak yang sholeh, yang melahirkan cucu-cucu yang sholeh, yang melahirkan cicit-cicit dan keturunan yang sholeh hingga hari kiamat. Bukan hanya anak yang sholeh yang berdo’a untuk kedua orang tuanya, namun ia melahirkan cucu yang tidak sholeh, bahkan cicit dan keturunan yang tidak menunjukkan sama sekali kesholehan. Tentu bukan yang demikian itu yang diinginkan oleh Islam. Dari sini Islam menuntut individu muslim untuk bertanggung jawab terhadap sejarah,dan mengukir sejarah yang baik, untuk kebaikan keturunan, generasi mendatang dan kebaikan dirinya dikahirat kelak. Di sini wanita berperan sebagai pelaku sejarah dan penentu dari sejaran, bahkan sebagai pembuat sejarah itu sendiri.
Demikianlah tanggung jawab yang mesti diemban oleh individu muslim dan muslimah. Dari sinilah kita melihat dan menakar peran publik muslimah.
Maksudnya, bahwasannya peran publik bukanlah peran tersendiri,akan tetapi sebuah peran yang berkaitan dengan peran-peran yang lain. Dan harus dijalankan secara seimbang.
Peran publik ini kalau bisa realisasikan formatnya antara lain:
1. Peran Sosial.
Seorang muslimah harus melaksanakan peran sosial ini, yaitu peran seorang muslimah ikut berpartisipasi membangun mental masyarakat. Terutama masyarakat perempuan itu sendiri. Apabila wanita muslimah tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat dan acuh tak acuh terhadap kondisi itu, maka ia tidak melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Islam kepadanya. Apatah lagi, bila muslimah tersebut memiliki kapabilitas yang cukup, sarana dan prasarana yang mendukung dan memadai. Seperti membantu anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, baik bantuan moral, material, maupun tenaga.
2. Peran Politik.
Seorang wanita muslimah juga memiliki tanggung jawab politik di masyarakat. Sebab politik adalah seni mengatur masyarakat, dan wanita adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari masyarakat, maka ia juga memiliki peran politis tersebut. Berbagai kebijakan sosial di masyarakat bila wanita muslimah tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut,maka akan sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Di era demokrasi seperti sekarang ini, jumlah wanita jelas lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lelaki. Kelompok Islam Phobia mengerahkan wanita-wanitanya untuk ikut mendukung perjuangan politis mereka dengan berbagai macam cara, hal itu tidak bisa diimbangi kecuali dengan melibatkan muslimah dalam peran politis. Terutama untuk menjawab hal-hal kesalah pahaman terhadap Islam yang selalu digembar-gemborkan oleh kelompok Islam phobia dengan dalih membela wanita dsb. Pembelaan itu akan lebih kuat bila yang melakukan adalah wanita muslimah.
3. Peran Pendidikan masyarakat.
Dalam mendidik masyarakat, tidak cukup hanya dengan melibatkan laki-laki saja, akan tetapi dituntut peran muslimah untuk melaksanakan pendidikan masyarakat, entah itu berupa pengajian, taman kanak-kanak dan lain sebagainya. Apalagi bila peran tersebut bila berhubungan dengan kaum wanita itu sendiri.

4. Peran profesi
Hendaknya wanita juga memiliki peran profesi yang dijalankan di masyarakat, apalagi bila profesi tersebut berhubungan dengan kebutuhan dan keperluan wanita. Sungguh sebuah kesalahan masyarakat muslim bila memprofesikan laki-laki dalam profesi yang seharusnya wanita yang layak melaksanakannya, dan kesalahan wanita bila tidak mengambil peran tersebut.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan
Dalam melaksanakan peran publik wanita muslimah, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah dan masyarakat muslim, antara lain:
1. Dalam melaksanakan peran publik tidak terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tabarruj, ikhtilath yang diharamkan, kholwat, menimbulkan fitnah. Sebab tidak ada fitnah bagi laki-laki lebih besar daripada wanita, dan tidak ada fitnah besar bagi wanita lebih besar daripada laki-laki.
2. Tetap menjaga keseimbangan dalam menjalankan tugas-tugas wanita; sebab wanita bukan hanya memiliki satu kewajiban; kewajiban sebagai seorang hamba Allah, sebagai, dirinya sendiri, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak, sebagai anggota masyarakat dan lain sebagainya.
3. Memperhatikan prioritas bagi wanita muslimah tersebut. Sebab skala prioritas antara satu muslimah dengan muslimah yang lain tidaklah sama; hal itu disesuaikan dengan usia, kondisi, kapabilitas dan lain sebagainya.
4. Peran publik yang dijalani hendaknya masih dalam kemampuan wanita muslimah untuk menjalaninya, bukan justru mendhaliminya. Kemampuan wanita muslimah yang satu dengan yang lain berbeda.
5. Wanita muslimah yang mengambil salah satu peran publik tersebut memang memiliki kapabilitas untuk itu. Bukan sekedar tampil.
6. Peran tersebut dijalankan dengan dukungan fasilitas yang memadai, baik itu hard facility (fasilitas fisik) maupun soft facility ( fasilitas lunak). Sehingga peran yang dilakukan tersebut mendatangkan manfaat bagi wanita itu maupun bermanfaat bagi masyarakat.
7. Peran publik wanita muslimah tidaklah sama kadarnya, hal itu disesuaikan dengan kondisi masing-masing wanita muslimah; kapabilitas, kemampuan fisik, fasilitas, prioritas dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa diharuskan dalam satu format dan disamaratakan antara yang satu dan yang lain.
Demikianlah peran publik muslimah dan takarannya, semoga kita bisa melaksanakannya dengan seimbang . Wallahu a’lam bishowab.

Islamabad, 23/1/2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com
Tulisan ini diterbitkan oleh Dinamika majalah Forum Ukhuwah Mahasiswa Indonesia, Islamabad, Pakistan.

Posted by Masturi at 5:38 AM
Labels: Fiqih Dakwah

Peran Publik Muslimah

Di era globalisasi ini terjadi dua fenomena yang bertentangan dalam melihat peran publik muslimah.
Di satu pihak gerakan feminisme menuntut adanya kebebasan wanita untuk menentukan nasibnya sendiri, dan ingin melepaskan diri dari masyarakat। Seolah-olah wanita tertindas dan harus menuntut kebebasan itu, bersaing dengan laki-laki, yang dikesankan sebagai pembuat belenggu bagi wanita. Sehingga masyarakat ini terbagi menjadi dua,yaitu:
- masyarakat laki-laki
- masyarakat perempuan.
Perempuan menuntut agar disamakan dengan laki-laki dalam segala segi .
Di sisi lain ada penyeru, yang menyerukan muslimah agar kembali ke dalam rumah dan tidak perlu ada peran publik yang diperankan, sehingga terkungkung di rumah dengan alasan berperan sebagai pendidik anak dan generasi, begitulah yang diajarkan oleh Islam dan di contohkan oleh Rasulullah saw., begitu kata mereka.
Telah hilang dari pikirannya peran yang dilakukan oleh umahatul mu’minin dalam mendampingi Rasulullah saw berperang, mengajar para muslimah, mendidik anak-anak muslimin.
Berapa banyak para shahabiat yang ikut ke medan jihad merawat prajurit-prajurit muslimin yang terluka, bahkan tidak sedikit yang ikut mengangkat senjata berjihad di jalan Allah, tersebutlah Ummu Haram bintu Milhan, Khoulah binti Al Azwar yang membantu pasukan Kholid in Walid dalam perang Qodisiyah melawan orang-orang Romawi......


Bagaimana sebenarnya peran publik muslimah??

Perlunya Definisi
Untuk melihat hal ini secara obyektif, tidak ekstrim maka perlu didefinisikan. Dari situ mudah kiranya untuk menakar peran publik muslimah. Dengan definisi tidak akan timbul perdebatan dan perbedaan dalam masalah hukumnya. Apakah peran publik itu sangat ekstrim yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat islam, ataukah peran publik itu masih dalam kerangka syariat?? Apakah yang dimaksud dengan peran publik itu, dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab wanita yang lain ataukah peran publik itu masih dalam kerangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab wanita muslimah??? Apakah peran itu masih dalam kemampuan wanita muslimah itu sendiri ataukah sudah melampaui batas kemampuannya?? Apakah Peran publik itu sesuai dengan fitrah wanita muslimah ataukah sudah keluar dari fitrah??? Apakah peran itu sekedar tampil ataukah mesti berdasarkan kapabilitas???
Peran publik muslimah yang dibolehkan oleh Islam adalah peran publik yang masih dalam kordidor syariat Islam, menjaga moralitas dan menjauhi fitnah, dengan tetap menjaga keseimbangan tugas wanita tanpa mengorbankan tugas-tugas yang lain, masih dalam batas kemampuan muslimah, sesuai dengan fitrah wanita, dan tidak mendhalimi wanita itu sendiri.
Namun bila sudah keluar dari hal-hal di atas, maka jelas bukan peran yang dinginkan oleh Islam.

Menakar peran publik muslimah
Peran publik muslimah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam. Salah satu dari karakteristik Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Kehidupan individu, kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga adanya tanggung jawab individu muslim. Dari karakteristik dan tanggung jawab inilah memunculkan peran publik individu muslim dan muslimah.

Dilihat dari aspek yang dicakup oleh Islam sebagai konsep kehidupan; individu,sosial, keluarga, jasmani dan rohani, menuntut peran publik muslimah. Sebab peran publik adalah bagian daripada cakupan aspek sosial Islam.
Sedangkan dari segi tanggung jawab masing-masing individu muslim dan muslimah memiliki tanggung jawab yang sama; tanggung jawab itu antara lain:
1. Tanggung jawab kepada Allah; yaitu masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang mesti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini tidak boleh kita abaikan apalagi kita tinggalkan. Hukumnya bermacam-macam ada yang wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Setiap hukum harus dilaksanakan sesuai dengan porsinya. Tidak boleh ekstrim, harus sederhana. Di sini wanita berperan sebagai seorang hamba dari Tuhannya dan ia harus mempertanggung-jawabkannya.

2. Tanggung jawab kepada individu, Islam juga menuntut pribadi muslim baik laki-laki maupun perempuan agar bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Tidak diperbolehkan oleh Islam mengabaikan diri sendiri untuk orang lain. Tanggung jawab ini tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pribadi itu sendiri yang bisa memenuhi tanggung jawab individunya. Tanggung jawab ini akan ditanyakan kelak di akhirat. Dan tidak ada orang lain yang bisa mempertanggung jawabkannya. Di sini wanita berperan sebagai seorang individu manusia, yang mesti hidup dengan kapasitas kemanusiaannya.

3. Tanggung jawab kepada keluarga; keluarga adalah bagian dari lembaga cakupan Islam. Islam tidak menganjurkan hidup membujang, bahkan melarangnya. Tanggung jawab untuk mewujudkan lembaga keluarga dan mempertahankan kelansungannya adalah tanggung jawab setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. Tanggungjawab ini disesuaikan dengan peran masing-masing individu, sebagai suami,istri, anak dan lain sebagainya. Masing-masing ada porsinya dan harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Bila ada kelalaian dalam tanggungjawab maupun kejanggalan dalam lembaga ini,maka akan menggoncangkan sendi-sendi Islam yang lain. Di sini wanita berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dan sebagai seorang anak. Ketiga-tiga peran tersebut mesti di jalaninya dengan seimbang.
4. Tanggung jawab kepada profesi, Islam menginginkan semua individunya produktif, dan tidak menginginkan menganggur. Kemandirian itu dicontohkan oleh para nabi dan Rasulullah Saw, sebagai Rasul yang menjadi pemimpin para Rasul tersebut. Dalam Islam juga mengenal hukum fardhu kifayah yaitu bila sudah ada yang melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka seluruh masyarakat Islam tidak berdosa. Namun sebaliknya, bila tidak ada satupun yang melaksanakan kewajiban tersebut,maka semua masyarakat muslim akan berdosa. Profesi ibarat pembagian tugas dalam masyarakat. Semua keperluan yang diperlukan oleh masyarakat untuk mempetahankan kelangsungan hidup yang Islami harus di adakan dan ada yang mengambil alih profesi tersebut. Kemudian dilaksanakan dengan baik dan profesional. Di sini wanita muslimah berperan sebagai seorang profesional yang produktif dan berpenghasilan. Terlebih-lebih bila ia sebagai tulang punggung keluarga dengan kondisi yang memaksakan dirinya untuk bekerja, seperti seorang wanita yang ditinggal suaminya, tidak ada saudara yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya, harus melangsungkan pendidikan anak-anaknya yang memerlukan biaya untuk mendidik dan membesarkannya.
5. Tanggung jawab kepada masyarakat, Salah satu aspek kehidupan yang dicakup oleh Islam adalah kehidupan bermasyarakat. Islam tidak hanya mencukupkan dalam konsep individu dan keluarga, akan tetapi cakupannyajuga kehidupan sosial kemasyarakatan yang meliputi struktural kenegaraan. Karena mengatur negara adalah mengatur masyarakat, dan itu termasuk cakupan aspek kehidupan Islam. Konsep Amar ma’ruf nahi Mungkar atau yang biasanya disebut dengan hisbah, jelas sekali menjelaskan hal ini. Individu muslim dan muslimah bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sehat, baik dan bersih moral dan materialnya masyarakat. Islam tidak mengabaikan kehidupan bermasyarakat dan hanya memperhatikan kehidupan individual seperti gaya hidup kapitalis. Begitu juga ia juga tidak memenggal hal-hak individu dan hanya memperhatikan hal-hal sosial masyarakat sebagaimana halnya konsep sosialis. Islam memperhatikan kedua-duanya dengan penuh keadilan dan keseimbangan. Di sini wanita berperan sebagai anggota masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya, dan mesti turut serta bertanggung jawab dengan kebaikan masyarakatnya.
6. Tanggung jawab kepada sejarah; Islam juga menuntut kepada individu muslim dan muslimah untuk memiliki tanggung jawab terhadap sejarah. Karena baik dan buruknya sejarah kemanusiaan ditentukan oleh sang pelaku sejarah tersebut. Islam menuntut individunya untuk menjadi pelaku sejarah yang baik dan benar. Bukan sekedar menjadi orang yang bersejarah dan dikenang orang. Bukankah Rasulullah saw. menjelaskan kepada kita perihal tiga perkara yang tidak akan terputus bagi seorang muslim dan muslimah walau ia telah meninggal?? Yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang akan senantiasa mendoakan kedua orang atuanya. Amal jariah yang baik adalah amal jariah yang berkesinambungan dan senantiasa mendatangkan pahala, walau sudah berganti generasi, berganti kurun dan berganti masa ribuan tahun. Ilmu yang bermanfaat, yang baik, yang diinginkan oleh Islam adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak, bermanfaat bagi kemanusiaan, yang bermanfaat dan berkesinambungan dari masa-ke masa. Jadi bukan hanya bermanfaat untuk sesaat atau hanya satu generasi saja. Begitu juga anak yang sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Anak sholeh yang baik adalah anak yang sholeh, yang melahirkan cucu-cucu yang sholeh, yang melahirkan cicit-cicit dan keturunan yang sholeh hingga hari kiamat. Bukan hanya anak yang sholeh yang berdo’a untuk kedua orang tuanya, namun ia melahirkan cucu yang tidak sholeh, bahkan cicit dan keturunan yang tidak menunjukkan sama sekali kesholehan. Tentu bukan yang demikian itu yang diinginkan oleh Islam. Dari sini Islam menuntut individu muslim untuk bertanggung jawab terhadap sejarah,dan mengukir sejarah yang baik, untuk kebaikan keturunan, generasi mendatang dan kebaikan dirinya dikahirat kelak. Di sini wanita berperan sebagai pelaku sejarah dan penentu dari sejaran, bahkan sebagai pembuat sejarah itu sendiri.
Demikianlah tanggung jawab yang mesti diemban oleh individu muslim dan muslimah. Dari sinilah kita melihat dan menakar peran publik muslimah.
Maksudnya, bahwasannya peran publik bukanlah peran tersendiri,akan tetapi sebuah peran yang berkaitan dengan peran-peran yang lain. Dan harus dijalankan secara seimbang.
Peran publik ini kalau bisa realisasikan formatnya antara lain:
1. Peran Sosial.
Seorang muslimah harus melaksanakan peran sosial ini, yaitu peran seorang muslimah ikut berpartisipasi membangun mental masyarakat. Terutama masyarakat perempuan itu sendiri. Apabila wanita muslimah tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat dan acuh tak acuh terhadap kondisi itu, maka ia tidak melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Islam kepadanya. Apatah lagi, bila muslimah tersebut memiliki kapabilitas yang cukup, sarana dan prasarana yang mendukung dan memadai. Seperti membantu anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, baik bantuan moral, material, maupun tenaga.
2. Peran Politik.
Seorang wanita muslimah juga memiliki tanggung jawab politik di masyarakat. Sebab politik adalah seni mengatur masyarakat, dan wanita adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari masyarakat, maka ia juga memiliki peran politis tersebut. Berbagai kebijakan sosial di masyarakat bila wanita muslimah tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut,maka akan sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Di era demokrasi seperti sekarang ini, jumlah wanita jelas lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lelaki. Kelompok Islam Phobia mengerahkan wanita-wanitanya untuk ikut mendukung perjuangan politis mereka dengan berbagai macam cara, hal itu tidak bisa diimbangi kecuali dengan melibatkan muslimah dalam peran politis. Terutama untuk menjawab hal-hal kesalah pahaman terhadap Islam yang selalu digembar-gemborkan oleh kelompok Islam phobia dengan dalih membela wanita dsb. Pembelaan itu akan lebih kuat bila yang melakukan adalah wanita muslimah.
3. Peran Pendidikan masyarakat.
Dalam mendidik masyarakat, tidak cukup hanya dengan melibatkan laki-laki saja, akan tetapi dituntut peran muslimah untuk melaksanakan pendidikan masyarakat, entah itu berupa pengajian, taman kanak-kanak dan lain sebagainya. Apalagi bila peran tersebut bila berhubungan dengan kaum wanita itu sendiri.

4. Peran profesi
Hendaknya wanita juga memiliki peran profesi yang dijalankan di masyarakat, apalagi bila profesi tersebut berhubungan dengan kebutuhan dan keperluan wanita. Sungguh sebuah kesalahan masyarakat muslim bila memprofesikan laki-laki dalam profesi yang seharusnya wanita yang layak melaksanakannya, dan kesalahan wanita bila tidak mengambil peran tersebut.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan
Dalam melaksanakan peran publik wanita muslimah, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah dan masyarakat muslim, antara lain:
1. Dalam melaksanakan peran publik tidak terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tabarruj, ikhtilath yang diharamkan, kholwat, menimbulkan fitnah. Sebab tidak ada fitnah bagi laki-laki lebih besar daripada wanita, dan tidak ada fitnah besar bagi wanita lebih besar daripada laki-laki.
2. Tetap menjaga keseimbangan dalam menjalankan tugas-tugas wanita; sebab wanita bukan hanya memiliki satu kewajiban; kewajiban sebagai seorang hamba Allah, sebagai, dirinya sendiri, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak, sebagai anggota masyarakat dan lain sebagainya.
3. Memperhatikan prioritas bagi wanita muslimah tersebut. Sebab skala prioritas antara satu muslimah dengan muslimah yang lain tidaklah sama; hal itu disesuaikan dengan usia, kondisi, kapabilitas dan lain sebagainya.
4. Peran publik yang dijalani hendaknya masih dalam kemampuan wanita muslimah untuk menjalaninya, bukan justru mendhaliminya. Kemampuan wanita muslimah yang satu dengan yang lain berbeda.
5. Wanita muslimah yang mengambil salah satu peran publik tersebut memang memiliki kapabilitas untuk itu. Bukan sekedar tampil.
6. Peran tersebut dijalankan dengan dukungan fasilitas yang memadai, baik itu hard facility (fasilitas fisik) maupun soft facility ( fasilitas lunak). Sehingga peran yang dilakukan tersebut mendatangkan manfaat bagi wanita itu maupun bermanfaat bagi masyarakat.
7. Peran publik wanita muslimah tidaklah sama kadarnya, hal itu disesuaikan dengan kondisi masing-masing wanita muslimah; kapabilitas, kemampuan fisik, fasilitas, prioritas dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa diharuskan dalam satu format dan disamaratakan antara yang satu dan yang lain.
Demikianlah peran publik muslimah dan takarannya, semoga kita bisa melaksanakannya dengan seimbang . Wallahu a’lam bishowab.

Islamabad, 23/1/2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com
Tulisan ini diterbitkan oleh Dinamika majalah Forum Ukhuwah Mahasiswa Indonesia, Islamabad, Pakistan.

Posted by Masturi at 5:38 AM
Labels: Fiqih Dakwah

Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran

Semua manusia, tanpa terkecuali memiliki dua sisi kehidupan. Kehidupan individual dan kehidupan sosial. Kehidupan individual, berupa kehidupan tentang hak-hak pribadi seseorang, seperti hak hidup, hak menyampaikan pendapat, hal beraktifitas, hak mencari kerja, hak untuk dihormati, dihargai dan lain sebagainya.
Sedangkan kehidupan sosial, adalah kehidupan bermasyarakat dan kehidupan yang berhubungan dengan orang lain, di mana saja ia berada. Keseimbangan dalam kedua sisi kehidupan ini dituntut selalu dari seseorang. Orang yang baik adalah orang yang mampu memadukan dua sisi kehidupannya secara proporsional dan seimbang. Sikap ekstrim pada satau sisi kehidupan ini, baik itu kehidupan sosial maupun individual tidaklah baik.
Bila ada orang terlalu mengagung-agungkan kehidupan individualnya dan mengabaikan kehidupan sosialnya, apalagi mendewa-dewakan hak-hak pribadinya dan mengabaikan kehidupan sosial, sebenarnya ia kurang bijak. Apalagi bila hak-hak individual yang diagungkan dan dibanggakan itu sampai mengganggu hak orang lain.
Begitu juga bila seseorang tidak peduli dengan kehidupan individual dan hanya mengagungkan keidupan sosialnya, juga kurang bijak. Perasaan selalu tidak enak dengan orang lain, akan selalu menghantuinya. Apalagi kalau sibuk mengurus urusan masyarakat, dan lupa dengan urusan pribadinya. Hal ini akan mengganggunya untuk terus maju. Karena walaupun bagaimanapun juga orang berbuat dan bertenggangrasa kepada orang lain, masih ada saja pihak yang tidak suka. Memuaskan semua orang satu hal yang mustahil. Tidak salah pepatah mengajarkan kepada kita," Dalam lautan bisa diketahui, dalamnya hati tidak mungkin diketahui." Keridhoan manusia, adalah jarak yang tidak mungkin diketahui."
Keindahan dalam kedua sisi kehidupan itu terjelma pada kemampuan seseorang untuk melaksanakan kedua sisi kehidupannya secara seimbang dan proporsional.
Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan atau dalam bahasa "gaul" nya amar ma'ruf nahi mungkar, merupakan sarana untuk menjaga kondisi kebaikan dan kesalehan sosial. Bila tindakan menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari berbuat kerusakan, maka akan menjadikan kerusakan masal tidak bisa dihindarkan. Bagaimana dengan pelaksanaan dan keutamaannya??? Kesalahan dalam memahami hal ini, akan menjadikan kondisi bukan membaik, justru akan menambah fitnah dan kerusakan yang lebih besar. Dalam postingan-postingan yang akan datang, fiqh dakwah akan mengupas sedikit demi sedikit tentang amar ma'ruf nahi mungkar. Moga bisa memberikan sedikit kontribusi yang membangun. Amin

Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com

Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran

Semua manusia, tanpa terkecuali memiliki dua sisi kehidupan. Kehidupan individual dan kehidupan sosial. Kehidupan individual, berupa kehidupan tentang hak-hak pribadi seseorang, seperti hak hidup, hak menyampaikan pendapat, hal beraktifitas, hak mencari kerja, hak untuk dihormati, dihargai dan lain sebagainya.
Sedangkan kehidupan sosial, adalah kehidupan bermasyarakat dan kehidupan yang berhubungan dengan orang lain, di mana saja ia berada. Keseimbangan dalam kedua sisi kehidupan ini dituntut selalu dari seseorang. Orang yang baik adalah orang yang mampu memadukan dua sisi kehidupannya secara proporsional dan seimbang. Sikap ekstrim pada satau sisi kehidupan ini, baik itu kehidupan sosial maupun individual tidaklah baik.
Bila ada orang terlalu mengagung-agungkan kehidupan individualnya dan mengabaikan kehidupan sosialnya, apalagi mendewa-dewakan hak-hak pribadinya dan mengabaikan kehidupan sosial, sebenarnya ia kurang bijak. Apalagi bila hak-hak individual yang diagungkan dan dibanggakan itu sampai mengganggu hak orang lain.
Begitu juga bila seseorang tidak peduli dengan kehidupan individual dan hanya mengagungkan keidupan sosialnya, juga kurang bijak. Perasaan selalu tidak enak dengan orang lain, akan selalu menghantuinya. Apalagi kalau sibuk mengurus urusan masyarakat, dan lupa dengan urusan pribadinya. Hal ini akan mengganggunya untuk terus maju. Karena walaupun bagaimanapun juga orang berbuat dan bertenggangrasa kepada orang lain, masih ada saja pihak yang tidak suka. Memuaskan semua orang satu hal yang mustahil. Tidak salah pepatah mengajarkan kepada kita," Dalam lautan bisa diketahui, dalamnya hati tidak mungkin diketahui." Keridhoan manusia, adalah jarak yang tidak mungkin diketahui."
Keindahan dalam kedua sisi kehidupan itu terjelma pada kemampuan seseorang untuk melaksanakan kedua sisi kehidupannya secara seimbang dan proporsional.
Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan atau dalam bahasa "gaul" nya amar ma'ruf nahi mungkar, merupakan sarana untuk menjaga kondisi kebaikan dan kesalehan sosial. Bila tindakan menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari berbuat kerusakan, maka akan menjadikan kerusakan masal tidak bisa dihindarkan. Bagaimana dengan pelaksanaan dan keutamaannya??? Kesalahan dalam memahami hal ini, akan menjadikan kondisi bukan membaik, justru akan menambah fitnah dan kerusakan yang lebih besar. Dalam postingan-postingan yang akan datang, fiqh dakwah akan mengupas sedikit demi sedikit tentang amar ma'ruf nahi mungkar. Moga bisa memberikan sedikit kontribusi yang membangun. Amin

Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com

Jumat, 29 Mei 2009

Penyimpangan Sosial*

Published at Masturi's Weblog in 23.9.07:


(Dakwah, Menanggulangi Penimpangan Sosial)

Fenomena

Fenomena penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat seperti masyarakat mahasiswa, bisa diberikan beberapa komentar:
1. Penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat bisa dikatagorikan dalam; penyimpangan perilaku bisa sosial dan seksual, penyimpangan intlelektual, penyimpangan keyakinan atau akidah. Penyimpangan intelektual dan penyimpangan ideologis lebih berat dibandingkan penyimpangan sosial. Dan yang paling berat adalah penyimpangan ideologis.
2. Yang terjadi di tengah masyarakat umum jauh lebih parah bila dibandingkan yang terjadi di masyarakat Mahasiswa.
3. Apabila penyimpangan itu terjadi pada masyarakat yang agamis, maka yang terjadi di luar itu sesungguhnya lebih parah lagi.
4. Penyimpangan perilaku yang ada di masyarakat secara umum, sesungguhnya tidak terjadi spontan, akan tetapi melalui proses dan waktu yang cukup panjang.
5. Perubahan perilaku itu tidak berdiri sendiri, sebelumnya didahului oleh perubahan kerangka berpikir dan keyakinan.
6. Diantara faktor penyebab utama penyimpangan tersebut adalah sikap individualis dan terjadinya erosi kepedulian sosial....



Pandangan masyarakat terhadap penyimpangan perilaku sosial

Dalam memandang fenomena yang terjadi di tengah mahasiswa khususnya dan pada masyarakat pada umumnya tidaklah sama:
-Ada yang menganggap penyimpangan tersebut sebagai trend dan perubahan zaman, yang harus diikuti, dinikmati dan tak perlu ada sikap konfrontatif.
-Ada yang menganggap penyimpangan yang terjadi tersebut sebagai peluang yang harus diambil keuntungan materi, dan kesempatan itu hanya sekali. Bisa dijadikan sebagai komoditi jual.
-Ada yang menganggap penyimpangan tersebut sebagai sebuah perubahan nilai ke arah yang negatif yang harus diperbaiki.

Masyarakat dengan berbagai srata tatanannya yang terdiri dari:
-Masyarakat umum sebagai pelaksana aktivitas masyarakat.
-Intelektual, termasuk di dalamnya ruhaniawan dan agamawan sebagai konseptor dari kerangka berpikir sistem kemasyarakatan.
-Politisi dan pelaksana pemerintahan sebagai pengawal sistem dan struktural.
Juga berbeda-beda dalam memandang fenomena ini.

Pandangan seorang muslim.
Dipersilahkan kepada masyarakat dengan stratanya untuk memandangnya dengan dimensi masing-masing. Dipersilahkan untuk menilainya apakah hal-hal tersebut sebagai hal yang positif atau negatif? Apakah dijadikan sebagai trend yang harus dinikmati dan diikuti sebagaimana trend-trend yang lain? Ataukah akan dijadikan sebagai ladang bisnis yang bisa difasilitasi untuk mengambil keuntungan yang belum tentu datang di kesempatan lain? Ataukah hal itu akan dipolitisir untuk dijadikan sebagai komoditi untuk mencapai kekuasaan?
Namun fitrah manusia yang sehat, orang tua yang masih hidup fitrah sebagai orang tua, agamawan yang komit dengan agamanya masing-masing , dan seorang muslim yang komit dengan ajaran agamanya dalam melihat fenomena ini akan bertemu dalam satu muara; yaitu kebaikan umum. Masing-masing tidak akan berbeda dalam menilai bahwa penyimpangan perilaku tersebut adalah sebuah penyimpangan yang menuju kepada kehancuran.
Dengan demikian, kita akan mendapatkan dua bentuk masyarakat; bentuk pertama masyarakat yang sakit yang menganggap sebagai trend yang harus diikuti, ataukah sebagai peluang yang mendatangkan keuntungan, ataukah yang lainnya, dari manapun mereka berasal. Dan bentuk kedua masyarakat yang sehat yang ingin memberikan solusi pengobatan.
Begitulah seharusnya seorang mukmin memandang.

Sikap seorang da’I
Yang kami maksudkan dengan seorang da’I muslim adalah orang yang masih meyakini Islam sebagai konsep hidup, berusaha untuk mengamalkannya semaksimal ia mampu, dan berusaha untuk mendakhwahkannya kepada orang lain agar kebaikan Islam bisa juga dinikmati oleh orang lain. Profesi apapun yang dijalani selagi dalam koridor yang dibolehkan Islam; sebagai petani, birokrat, bisnisman, politisi, guru, guru agama, pendidik dan lain sebagainya.
Saat menyaksikan adanya penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat tersebut, hendaknya bersikap:

1. Tidak berkecil hati, sebab yang terjadi adalah sebuah kemungkaran yang berlaku dari dulu hingga sekarang, dan terjadi di berbagai masyarakat, dan akan terus ada. Hanya kadarnya yang berbeda. Tugas da’I adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bukan dituntut hasil.
2. Fenomena tersebut akan menjadikan sang da’I untuk lebih komitmen dengan nilai-nilai kebaikan yang memang diperjuangkan oleh Islam, dan sedang ia perjuangkan dan jika ia lengah hal itu akan bisa menjangkitinya juga.
3. Fenomena yang terjadi itu lebih memacu lagi untuk bekerja mengadakan perbaikan-perbaikan, sehingga ia adalah lapangan ibadah yang harus dimanfaatkan dan dimaksimalkan dalam memperbaikinya.
4. Bekerja sama dengan siapa saja yang tidak menerima terjadinya penyimpangan tersebut untuk menyelesaikan penyakit masyarakat tersebut. Karena penyimpangan yang terjadi juga akan mengarah kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal terhadap dekadensi moral.
5. Mengadakan team network dengan semua unsur masyarakat yang masih berkemauan untuk memperbaiki keadaan untuk mengadakan pembagian kerja, sesuai dengan lapangan garapannya masing-masing; sebagai orang tua, pendidik, mahasiswa, politisi, pejabat dan lain sebagainya.
6. Konsisten untuk selalu mengadakan perbaikan, tidak berhenti walau sekejap. Sebab, berhenti sejenak berarti memberikan peluang kepada penyimpangan itu untuk beranak-pinak.

Usulan solusi
Perlu dipikirkan berikutnya untuk mengembalikan masyarakat kepada nilai kebaikan. Untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut, kita harus tahu pokok dari permasalahannya;
Kalau bisa diamati secara global sebab dari masalah disebabkan oleh dua hal:
1. Kebodohan: bodoh terhadap nilai-nilai agama,terhadap nilai-nilai luhur, terhadap orientasi hidup.
2. Hawa nafsu: nafsu seksual, nafsu harta, nafsu kedudukan dan lain sebagainya.

Selanjutnya kepada para da’I untuk memelopori adanya perubahan-perubahan menuju kepada kebaikan, dalam skala individu, keluarga dan masyarakat. Proses perubahan tersebut:
1. Merubah dari kebodohan kepada pengetahuan.
Yang kami maksud kebodohan di sini bukan kebodohan intelektualitas, akan tetapi kebodohan terhadap agama, nilai-nilai luhur, dan orientasi hidup. Buta huruf lebih ringan permasalahannya daripada buta agama, buta nilai-nilai luhur, dan buta orientasi hidup.
Untuk mengatasi hal ini sang da’I perlu memberikan pengajaran kepada masyarakatnya dengan berbadai sarana dan prasarana yang ia miliki. Sesuai dengan kapabilitas yang ia miliki. Sang da’I tidak boleh berhenti dan berputus asa untuk menjalankan perannya ini.
2. Merubah dari pengetahuan menjadi kerangka berpikir.
Tidak semua informasi yang masuk ke dalam otak seseorang, dijadikan sebagai pijakan pemikirannya. Hal itu akan menjadi pola pikir dan kerangka berpikir setelah melalui proses. Sebuah proses memerlukan waktu.
Dengan demikian sang da’I jangan cukup puas dengan hanya menyampaikan informasi dengan pidato, diskusi dan tulisan-tulisannya. Akan tetapi ia harus berusaha agar nilai-nilai kebaikan yang disampaikannya bisa diserap oleh obyeknya, dan mewarnai kerangka berpikirnya. Dalam hal ini iklan komersial bisa kita jadikan sebagai contoh getolnya ajakan dan seruan
3. Merubah dari kerangka berpikir menjadi keyakinan.
Tidak semua kerangka berpikir menjadi sebuah keyakinan. Untuk menjadi sebuah keyakinan kerangka berpikir harus melalui proses yang cukup dalam diri seseorang. Karena keyakinan ini yang menjadikan seseorang bisa mempertahankan sikap bahkan sampai menyabung nyawa. Maka tidak heran untuk merubah pola pikir menjadi keyakinan termasuk proses yang lambat. Dalam prosesi tersebut menyingkirkan berbagai pertanyaan, berbagai keragu-raguan, hingga melahirkan sebuah ketenangan hati. Pola berpikir yang tidak melalui proses yang matang hanya akan melahirkan fanatisme buta. Atau akan mudah tergoyahkan dengan alasan-alasan yang mampu mematahkannya. Namun Keyakinan yang melalui proses yang benar, akan menimbulkan sikap yang tepat dan penuh tanggung jawab.
Di sini peran da’I sangat diperlukan untuk membantu obyeknya mencapai keyakinan yang diinginkan. Kesabaran untuk menerima berbagai pertanyaan, menjawab berbagai pertanyaan, dan menghilangkan berbagai keraguan. Maka kerja da’I bukanlah kerja yang ringan.

4. Merubah dari keyakinan menjadi perilaku.
Namun demikian proses sebuah pola pikir untuk menjadi keyakinan rupanya tidaklah cukup. Sang da’I tidak boleh puas sampai di situ saja. Sebab yang ingin kita raih adalah produktifitas dan kerja nyata. Berapa banyak orang yang memiliki keyakinan,namun karena keyakinan itu mandul, maka ia tidak mempu menghasilkan apa-apa. Keyakinan yang kita inginkan adalah keyakinan yang mampu memberikan motivasi dan daya gerak. Bukan keyakinan yang beku hanya bercokol di dalam hati dan tidak bisa dilihat realisasinya.
Di sini peran sang da’I untuk membantu obyeknya menjadi subyek dari keyakinan tersebut. Dengan keteladanan yang baik, sikap-sikap yang memotivasi, memberikan contoh-contoh praktis. Sehingga obyek dakwah menjelmakan keyakinan tersebut ke dalam perilakunya.

5. Merubah perilaku menjadi orientasi .
Ketika seseorang sudah mengejawantahkan keyakinannya ke dalam aksi dan tindakan, terkadang perilaku dan aksi tersebut mengalami fluktuasi menaik dan menurun. Bukan sebuah cela bila seseorang mengalami fluktuasi dalam perilakunya, namun hendaknya fluktuasi tersebut tidak terlalu jauh jaraknya. Yang dimaksud istiqomah, adalah bila seseorang mampu mengawal sikapnya ke dalam standar umum yang baik.
Untuk menjaga agar seseorang mengalami fluktuasi yang seimbang, dan masih dalam bingkai yang logis, diperlukan seseorang itu untuk memiliki orientasi dalam setiap kerjanya. Dan tidak ada orientasi yang sanggup mengawal hal ini kecuali orientasi ibadah dalam setiap aktivitas kehidupan.

Demikianlah sedikit input untuk solusi menghadapi perilaku menyimpang dari nilai-nilai agamis,nilai-nilai luhur. Sebuah kerja yang terus menerus sesuai dengan kapasitas masing-masing penyeru kebaikan, dengan tanpa mengenal lelah. Hingga mendatangkan perubahan atau mati dalam melakukan kebaikan.
Hendaknya semua unsur yang ada di masyarakat secara individu ,institusi maupun kelembagaan ; pemerintah, lembaga-lembaga sosial, pejabat, lembaga-lembaga pendidikan, pesantren-pesantren dan lain sebagainya juga menjadi pelopor dalam melaksanakan proses ini, bekerja sama menjalin network yang kuat dengan tanpa mengecilkan peran pihak lain.
Wallahua’lam bishowab.
Keberatan dengan iklan ini?

Islamabad, 23 Januari 2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com

* Dipresentasikan dalam acara bedah buku: Sex in the kost, karya Iip Wijayanto, dalam rangka memperingati 15 tahun IKPM cabang Pakistan, di aula KBRI Islamabad pada 25 Januari 2004.
Posted by Masturi at 12:41 PM 0 comments Links to this post
Labels: Fiqih Dakwah

Obyek Kerja Dakwah

Published at Masturi's Weblog in 26.9.07:
Kerja dakwah yang baik, paling tidak memiliki tiga obyek kerja yang harus berimbang. Tidak boleh melebihkan satu dari yang lain. Bila tidak seimbang, maka ia sudah masuk ke dalam ekstrimisme yang membahaykan bukan hanya diri dai sendiri dan kelompoknya, lebih dari itu membahayakan masyarakat. Hal itu akan kontra produktif dengan tujuan dakwah itu sendiri, meningkatkan dan mendorong masyarakat agar lebih bisa menikmati kesejahteraan yang sebenarnya, bukan kesejahteraan semu. Obyek itu adalah:....
1. Obyek internal. Dakwah, apa saja, tidak akan berjalan dengan sendirinya. Tidak mungkin berjalan hanya dengan mengumpulkan orang di jalanan untuk memiliki satu cita dan keinginan. Dakwah memerlukan orang yang memiliki kesamaan visi, misi dan militansi. Orang di jalanan memiliki visi yang bermacam-macam, cita yang beraneka dan misi yang bervariasi. Belum lagi militansinya. Dakwah, seandainya tidak bisa meyamaratakan antara cita, misi dan militansi, paling tidak mendekatkan. Barulah dakwah akan bisa berjalan. Di sini fungsinya Tarbiah. Obyek ini, garapan dari tarbiah itu. Maka tarbiah adalah modal utama dari mesin dakwah, atau bahkan ia adalah mesin itu sendiri. Dai yang bijak, akan mampu membuat porsi yang tepat untuk kawasan ini. 2. Obyek Ekternal Dakwah memerlukan artikulasi di masyarakat luas. Kebaikan dakwah untuk mengantarkan masyarakat, apa saja dan siapa saja menuju kebaikan dan harkat kemanusiaan. Maka obyek umum harus menjadi tujuan. Sehingga kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh siapa saja. Misi Islam bukan hanya sekedar membawa kebaikan untuk umat Islam, tetapi kebaikan untuk alam termasuk tumbuhan dan binatang. Apalagi manusia, apapun agama dan keyakinannya. Maka „ Amal Amm“ merupakan keniscayaan. Ekternal adalah aplikasi nyata dari kehidupan. Maka kehadiran dakwah dan da’i di masyarakat harus mereka rasakan. Da’i memerlukan legitimasi. Da’i yang baik memeras tenaga, pikiran, bahkan keringat dan hartanya agar masyarakat bisa hidup, istirahat dan tidur dengan tenang. Dai menyelesaikan masalah di masyarakat, bukan menjadi masalah di masyarkat. Karena masyarakat sangat kompleks, maka sang da’i harus tahu dari arah mana ia dan kelompoknya masuk ke dalam hati masyarakat. Masyarkat bukan bodoh, bahkan mereka sangat cerdas. Karena mereka tahu apa yang terbaik untuk mereka. Masyarakat terdapat para intelek, yang juga menjadi solusi di masyarakat. Dakwah yang gagal, dakwah yang selalu meletakkan masyarakat dalam posisi orang-orang bodoh. Seakan-akan buta dan awam sama sekali dengan kebaikan. Dakwah yang berhasil adalah dakwah yang meletakkan segala sesuatu secara proporsional. Yang baik harus dikatakan baik dan didukung, siapapun ia dan mereka. Yang pintar dan intelek, harus diakui intelelektualitasnya dan perlu belajar darinya. Sedang yang tidak baik, harus dikatakan tidak baik dan dikasihi untuk dibimbing dan diarahkan, bukan dikucilkan apalagi dibuang dan disingkirkan. Yang bodoh, harus di kasihi dan dibina agar ia bisa meningkat menjadi pintar dan menikmati indahnya ilmu dan pengetahuan. 3. Obyek pertengahan Obyek yang ketiga dalam dakwah, pertengahan dari obyek internal dan eksternal. Ini juga menempati posisi strategis dalam masyarkat. Ia penyambung lidah antara internal dan eksternal. Internal biasanya ekslusif dan tidak sedikit yang cenderung kaku. Eksternal biasanya cenderung encer dan seenaknya. Yang sering terjadi adanya benturan, karena jauhnya jurang pemisah antara keduanya. Obyek kedua inilah yang bisa mendekatkan keduanya. Itulah ketiga obyek dakwah yang harus berjalan secara seimbang. Bagaimana dengan dakwah anda????
Sepakat dengan makalah ini????:

Islamabad, 28 Juni 2007
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com/
Posted by Masturi at 7:41 AM 0 comments Links to this post
Labels: Fiqih Dakwah

Tentukan Sasaran Anda

Published at Masturi's Weblog in 29.9.07:

Tidak terkecuali dakwah, setiap aktifitas seharusnya memiliki sasaran dan tujuan. Bila aktivitas tidak memiliki sasaran dan tujuan akan berakibat fatal, antara lain:
1. Aktivitas itu tidak mendatangkan hasil.
2. Pelaksanakan programnya akan asal-asalan, karena tidak punya target yang jelas.
3. Kegagalan dan keberhasilannya tidak bisa diukur.
4. Orang yang mengikuti aktivitas itu akan bosan, sehingga akan meninggalkannya.......
Melihat kondisi ini, maka semua aktifitas dakwah harus memiliki target dan tujuan.
Sebagai contoh, seorang murobby yang memiliki aktifitas tarbiyah, saat mendapatkan mad’u, harus terdetik dalam hatinya berbagai pertanyaan, seperti:
1. Apa Target yang harus saya pasang untuk mad’u saya ini???
2. Mau saya bawa ke mana mad’u saya ini???
3. Berapa lama waktu yang saya perlukan untuk mencapai target tersebut???
4. Kegiatan apa saja yang bisa saya lakukan untuk mencapai tujuan tersebut???
5. Berapa banyak kira-kira waktu, tenaga, pikiran bahkan biaya yang saya perlukan untuk mencapai tujuan tersebut???
Semakin banyak pertanyaan saat melihat sasaran, akan memudahkan sang da’i untuk melangkah. Semakin jelas target dan tujuannya, dan akan semakin memudahkan untuk evaluasi setiap perjalanannya.
Banyak fenomena yang terjadi di kalangan aktivis dakwah, sang da’iy menuntut agar mad’unya memberikan intima’nya, namun ia tidak tahu target yang harus dicapai. Akhirnya yang terjadi, sang mad’u merasa bosan, karena merasa jalan di tempat. Telah menghabiskan waktu lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun namun hanya sia-sia tidak ada kejelasan tujuan.
Mad’u dan da’inya seperti sepakat untuk melaju ke muara futur. Seakan-akan dua-duanya sepakat untuk mengatakan,“ Menyesal kita berjumpa di sini.
“ Wahai para da’iy, seandainya anda tidak punya target dalam dakwah, tidak punya target dalam dalam tarbiyah, bagus mundur saja. Biarkan orang lain maju untuk mengambil alih posisi anda.
Jangan sampai anda mengikrarkan diri sebagai seorang da’iy yang berdakwah, padahal realitanya anda penghalang dakwah itu sendiri.
Wallahu a’lam.
Islamabad, 12 Mei 2007
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://refleksie.blogspot.com