Minggu, 14 Juni 2015

Menyikapi Kesuksesan Duniawi

Pandangan kita terkadang salah dalam  menilai. Bahkan  menilai diri kita sendiri. Apalagi  menilai orang lain.
Tatkala kita menilai sebuah kesuksesan, yang dijadikan ukuran diri  adalah kesuksesan  dunia dan materi. Seperti harta, jabatan, kekuasaan dan seterusnya.
Sebaliknya, kita sering menilai sebuah kegagalan berarti tidak sukses dalam  arti materi. Sehingga ketika kita melihat orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki jabatan, tidak memiliki  kedudukan, kita menganggap ia adalah orang yang gagal dalam hidup ini.
Inilah penilaian manusia secara umum. Sebagaimana yang diberitakan oleh Allah swt, dalam firmannya:
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي (16)
“ Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku."
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575].  (Q.s. Al Fajr : 15 – 16 ).
Dalam ayat di atas menunjukkan kepada kita sikap manusia, bahwa kesuksesan, keberhasilan dan kemuliaan ketika dia mendapatkan  kesuksesan materi. Kekayaan, harta, kedudukan, jabatan, istri yang cantik, suami yang ganteng, anak keturunan dan seterusnya.
Padahal tidak demikian,  bahkan Allah swt  menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan,  kemiskinan, kedudukan, pasangan yang cantik dan ganteng, anak keturunan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.

Seorang  manusia merasa bahwa apa yang diberikan oleh Allah swt  kepadanya dari ujian kesulitan hidup adalah siksaan, dan adzab. Sehingga seakan-akan ia adalah orang yang paling sulit hidupnya. Ia orang yang paling menderita dalam hidupnya. Tidak ada orang lain yang mendapatkan kesulitan lebih dari dirinya.
Padahal Allah swt telah memberikan  contoh dari umat-umat sebelum ini. Allah swt berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ
“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (Al Anam 42  )
Manusia terkadang banyak hidup dengan kesombongan, kepongahan. Tidak bersyukur dan tidak  tawadzu. Bahkan kepada Allah swt sekalipun, mereka lupa dan tidak mau merendahkan  diri.
Oleh karena itu Allah swt memberikan kepada mereka siksaan, ujian, kesulitan. Tujuan dari ujian dan siksaan serta berbagai kondisi sulit itu adalah agar manusia kembali kepada fitrahnya. Yaitu perlu kepada Dzat yang paling kuat yang  memberikan kekuatan. Yaitu Tuhan mereka Allah swt. Saat  kondisi lemah, tidak berdaya,   biasanya akan menyadari dirinya sehingga menyeru kepada Allah swt, memohon dan menghiba kepada-Nya.  Untuk tujuan itu, Allah swt mengutus para Nabi dan Rasul untuk meberikan penjelasan, pengajaran dan pendidikan  tentang hal ini.  Namun ternyata tidak mudah bagi manusia untuk segera menyadari hal ini.  Bahkan tidak sedikit perasaan dan rohaninya semakin bebal.
Ketika  manusia tidak bisa menangkap pesan Allah swt ini, karena bebalnya rohani, bodohnya spiritual, tidak sedikit Allah swt  kemudian menguji mereka dengan kemudahan hidup, kesuksesan materi, kedudukan yang tinggi, kemapanan dst.
  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“ Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. “ ( Al Anam 43 ).
  
Sehingga hatinya semakin membatu. Ruhaninya semakin bebal, sehingga cahaya hidayah tidak bisa menembusnya. Apalagi syetan semakin menghiasinya,  sedikit-demi sedikitnya menuntun kepada kekufuran dan kefasikan.
Ketika kondisi demikian, maka Allah swt justru membuka pintu materi, dan kesuksesan duniawi.  Bukan sebagai karunia atau kenikmatan yang diberikan untuk mereka, tapi sebagai istidroj “ pemberian  untuk menghinakan dan merendahkan “.
  فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“ Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. “ ( Al Anam 44 )
Sehingga banyak kita saksikan orang-orang yang mendapatkan harta kekayaan, kedudukan yang tinggi dan berbagai fasilitas kemudahan dan kemewahan.
Orang tersebut merasa bahwa itu adalah karunia, padahal kemaksiatan terus dia jalankan.  Berbagai kebohongan dilakukan untuk mendapatkan semua itu. Ia bahkan merasa bahwa ia pantas mendapat karunia tersebut.  Ia berhak untuk mendapatkan semua itu.
Padahal yang sebenarnya adalah istidroj. Apa itu istidroj? Istidroj adalah “ pemberian Allah swt untuk menghinakan “. Agar ia tidak segera bertaubat, bahkan  semakin jauh dalam kemaksiatan, semakin  menancap dengan kesombongan dan tidak segera kembali kepada Allah swt.  Sehingga ketika ia dalam kondisi kemaksiatan itu, maka Allah swt mengambilnya  dan mematikannya secara mendadak.  Sehingga ia tidak sempat lagi bertaubat.  Sungguh penderitaan yang berkepanjangan, yaitu kehinaan di dunia, dan penderitaan di akhirat.
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Maka orang-orang yang lalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ( Al Anam 45 )
Sebagai contoh:
Firaun yang memiliki kekuasaan, yaitu sebagai seorang raja.
Haman, perdana menterinya Fir’aun, yang mendaptkan jabatan sebagai perdana menteri.
Qorun, yang memiliki kekayaan yang sangat banyak sekali, yang kunci-kuncinya sangat banyak, yang tidak mampu dipikul oleh 7 orang yang kuat sekalipun.
Ternyata semua itu bukan karunia, tapi sebuah istidroj, yaitu pemberian dari Allah untuk menghinakan mereka di akhirnya.

  
Sehingga kesuksesan duniawi bukanlah kesuksesan yang sebenarnya.
Kesuksesan yang sebenarnya adalah tatkala kita dalam ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Apapun kondisi yang kita alami dalam kehidupan ini. Kehidupan yang mudah, maupun kehidupan yang sulit. 
Bersyukur ketika dalam kemudahan, dan cara bersyukur yang paling baik adalah menghambakan diri kepada Allah swt, dan memanfaatkan karunia tersebut dalam ketaatan.
Bersabar ketika dalam kesulitan. Tanda kesabaran yang paling utama adalah tetap beribadah dan  mensyukuri apa yang ada kepada Allah swt saat kondisi sulit. Bila dalam kondisi sulit saja tetap beribadah, dan bersyukur, apalagi ketika dalam kondisi mudah.
Segera bertaubat ketika dalam maksiat. Karena kita sebagai manusia tidak akan terlepas dari berbuat maksiat.  Sebaik-baik orang yang bermaksiat adalah segera bertaubat. Dan bahkan terkadang kemaksiatan kita bukan hanya sekali, atau dua kali. Maka sebaik-baik orang yang banyak maksiat adalah orang yang banyak taubat. Karena orang yang bertaubat adalah laksana orang yang tidak berdosa.
Bagaimana kita menyikapi kesuksesan duniawi yang kita dapatkan? Seperti kekayaan, kedudukan, jabatan dan lain sebagainya.
 Jangan sampai kita salah dalam menilai diri kita  dengan yang diberikan oleh Allah swt tersebut. Allah swt menjelaskan dalam surat Nuh ayat 10 - 12 :
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (  10 )   يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا  ( 11  ) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا  ( 12  )
“Maka Aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.  # Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,  #  dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”  #  Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? (( 10   -  13 )
Dalam ayat-ayat di atas bahwa karunia Allah swt dan nikmat itu diberikan kepada orang-orang yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Merendahkan diri kepadanya, menjauhkan dari segala kesombongan apalagi  kesombongan kepada Allah swt.
Bila diri anda mendapatkan kemudahan, fasilitas kemudahan hidup, jabatan dan berbagai kemudahan lainnya dan anda senantiasa bertaubat kepada Allah swt. Beribadah kepada-Nya, tawadzu kepada sesama manusia, apalagi di hadapan Allah swt. Merasa semua  itu berasal dari Allah swt, dan akan kembali kepada-Nya, kemudian memanfaatkannya dalam ketaatan dan bukan dalam kemaksiatan, maka itu adalah karunia Allah swt.
Bila yang terjadi adalah sebaliknya, anda merasa diri hebat, merasa diri mampu, merasa diri telah berusaha keras sehingga berhasil. Dan menilai orang lain tidak seperti anda karena mereka tidak hebat, mereka tidak mampu dan kmereka urang berusaha keras, maka berhati-hatilah. Kesuksesan anda itu adalah istidroj. Segeralah  kembali kepada Allah swt, segeralah memohon ampun kepada Allah swt. sebelum Allah  swt mengambilnya secara tiba-tiba, yang akan menghinakan anda di dunia, dan membuat anda menderita berkepanjangan di akhirat.

Semoga Allah swt menjadikan kita sebagai hamba yang mendapatkan karunia, dan bukan manusia yang mendapatkan istidroj. Amin ya Robbal a’alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar