Rabu, 28 Juli 2010

Gadis Berdarah Dingin, Teh Puspa

Namanya Puspa, masih gadis, usianya 24 tahun. Sekarang sudah kerja sebagai pegawai administrasi di sebuah lembaga pendidikan cukup terkenal di salah satu kota sejuk di negeri ini. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya beberapa bulan yang lalu di sebuah universitas negeri di Kota Bunga.
Ya, Puspa namanya.
Dalam akademis, ia cukup bagus. Bahkan bisa dibilang berprestasi IPK nya 3,68. Maka tidak heran kalau peringkat ke 5 dari 12 besar mahasiswa yang cumlaude di angkatannya. Luar biasa....
Aktivitas sosialnya, tidak kurang menariknya. Ternyata ia juga aktivis di kampusnya. Penampilannya yang sederhana, kejujuran dan kepeduliannya kepada orang lain mendorong teman-temannya untuk memilihnya menduduki jabatan wakil ketua Badan Legsltif Mahasiswa. Ah Teh Puspa. Artinya bunga, tidak salah orang tuanya memberinya nama itu. Bunga, yang bisa menemani siapa saja dalam segala kondisi. Saat bahagia merupakan pelengkap bagi kebahagiaan tersebut. Saat sedih, teman yang menjadi tempat menumpahkan segala perasaan. Bagi orang yang jatuh cinta, ia merupakan sarana untuk mengungkapkan apa yang ada dalam relung orang yang sedang kena panah asmara. Bagi pujangga, ia inspirator bagi terlahirnya karya-karya besar. Kala merekah menjadi penyejuk mata bagi yang memandang, kala layu pertanda akan datangnya buah yang menjadi pelanjut generasi. itulah bunga, oh ya Puspa.
Semakin ditelusuri semakin menarik kepribadiannya, ternyata ia bukan orang yang manja. Bahkan bisa dibilang mandiri, mandiri sekali. Ia sudah mulai bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri semenjak ia di bangku SMA. " Aku sudah biasa merasakan pahit getirnya kehidupan." katanya padaku suatu saat. " Wah setahu saya,kehidupan itu bukan pahit dan getir teh Puspa, tapi pahit dan manis." kataku. " Setahu saya yang getir itu terong mentah...," kataku mencairkan suasana. " Ah kamu ini suka mengalihkan konsentrasi pembicaraan aja Shofi." kata Teh Puspa kalem.
Lebih dari yang saya ceritakan di atas, Teh Puspa orangnya cantik. Saya yakin banyak teman-temannya yang tertarik dengan kecantikannya. Itu terlihat dari komentar para pengunjung FB nya. Walaupun laki-laki yang model begini biasanya berotak kecil bernafsu besar. Melihat perempuan dari sisi fisik tidak lebih dari itu. Komentarnya selalu tentang kecantikannya. Namun kondisi itu tidak menjadikannya merasa hebat, atau dikagumi oleh banyak orang seperti para celebritis kacangan yang hanya bermodal wajah cantik tanpa prestasi dan kemampuan yang memadai.
Mungkin Teteh yang satu ini menyadari, kecantikan bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan atau sebuah prestasi. Karena memang kecantikan adalah karunia dari Yang Maha Kuasa. Tidak ada peran hamba-Nya ini untuk memilih cantik atau tidak cantik. Berbeda dengan kepandaian dan prestasi, kerja keras dan ketekunan pemiliknya yang lebih dominan. Siapa sih yang pernah meminta untuk dirinya kepada Tuhannya," Ya Robb, jadikan aku orang yang cantik atau gantgeng." Tentu tidak ada. Kecantikan dan kegantengan adalah karunia yang harus disyukuri. Bukan satu hal yang harus dibanggakan. Apalagi sebagai sarana untuk mengejek orang lain yang tidak dikaruniai kecantikan atau kegantengan oleh Sang Pencipta seperti dirinya.
Itulah sebabnya, Teh Puspa ini kugelari dengan " Gadis Berdarah Dingin".
" Wah, memangnya aku ular?" kata teh Puspa saat kuungkapkan istilah itu. " Yang berdarah dingin bukan hanya ular teh." kataku. " Apa selain ular?" tanya teh Puspa penasaran. "Yang termasuk makhluq berdarah dingin selain ular ya Teh Puspa." kataku.
" Iiiiihhhh kucubit baru tahu rasa." kata teh Puspa seraya mencubit pinggangku. Aku kesakitan sambil nyengir.Hehehehehe. Teteh gemes digolongkan ke dalam golongan ular. heheheh.
Pertimbangan saya sederhana saja. Teteh Puspa secara fisik cantik dan menarik. Biasanya sedikit sekali gadis-gadis cantik yang berprestasi. Kebanyakan berjiwa labil dan lemah. Tersanjung saat dibilang cantik dan dikagumi kecantikannya. Ketika ada yang menyanjung dan memujinya akan merasa senang dan bahagia. Selalu akan memikirkan berbagai sanjungan dari para lelaki. Biasanya langsung "klepek-klepek" tidak berdaya. Tidak bisa belajar apalagi berprestasi. Begitulah biasanya yang terjadi pada gadis-gadis cantik.
Ternyata hal itu tidak berlaku bagi Teh Puspa, walaupun dari sananya sudah dilahirkan cantik, tapi ia masih bisa berprestasi bahkan menjadi aktifis dikampusnya. Kau memang hebat Teh Puspa. Gadis berdarah dingin. Moga kesuksesan senantiasa menyertaimu.

TOR ( Term Of Reference)

Barangkali ada yang belum tahu TOR? Bagi seorang aktifis organisasi mengerti TOR sebuah keniscayaan. Bila belum mengerti, harus diberanikan untuk bertanya. Bukan sebuah kesalahan bila kita belum tahu lantas bertanya. Nah, yang parah adalah bila tidak tahu, malu bertanya atau tidak mau bertanya. Sehingga yang terjadi adalah sok tahu. Walau sudah senior sekalipun. Berikut ini ada pengalaman pribadi seseorang yang memberikan informasi tentang TOR, moga bermanfaat untuk anda:


Term of Reference (TOR)


June 22, 2008
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Pagi yang indah harus kulalui dengan rapat!!! Agendanya bikin TOR suatu acara…
Hm… Ternyata pas rapat ada yang belum tau TOR… Kesempatan, nih, buat tulisan perdana!!! à pas rapat malah ngetik ini… ^^!
Term of Reference alias TOR adalah segala batasan yang berguna untuk setiap pengisi (pemateri/pembicara) agar sesuai dengan apa yang diharapkan panitia yang mengundangnya. Pokonya, kalau pernah ngisi materi alias cuap-cuap di suatu acara pasti udah pernah dikasih TOR (kecuali acaranya kurang profesional. Tul, nggak?)
Biasanya TOR mengandung beberapa poin penting yang kudu diperhatikan si pengisi materi. Poin-poin tersebut di antaranya :

  1. Judul


  2. Ini wajib and mutlak kudu ada. Tanpa ini, ibarat orang tanpa muka. Kita nggak bakal tau siapa orang itu kalo kita nggak tau wajahnya. Tul, kan? Makanya, acara tanpa judul… Nggak, deh!
  3. Tujuan Umum


  4. Tujuan utama mengapa materi tertentu ingin disampaikan dalam suatu acara.
  5. Tujuan Khusus


  6. Kalo ini tujuan khususnya mengapa materi tertentu ingin disampaikan dalam acara tersebut. Tujuan-tujuan di sini harus selaras dengan tujuan umum agar si tujuan umumnya itu sendiri tercapai.
  7. Hari / tanggal dan Waktu


  8. Kalo panitia nggak ngasih hari, tanggal, dan waktu acara disampaikan, kira-kira kapan si pemateri/pembicara harus datang?
  9. Resume


    Hampir mirip dengan tujuan khusus, tapi lebih bersifat teknis. Dalam arti lain bisa menjawab pertanyaan : bagaimana cara agar tujuan khusus tercapai?
  10. Kondisi


  11. ‘Kondisi’ di sini menggambarkan kondisi objek yang akan diberi materi saat penyampaian materi. Harus diperhatikan siapa peserta yang bakal diberi materi, sehingga penyampaiannya tepat. Biasanya bisa berupa jawaban dari beberapa pertanyaan ini : pesertanya siapa? pekerjaannya apa? Gendernya apa? range usianya berapa? Hobinya apa? Dari suku/negara mana?
  12. Metode


  13. Metode ini biasanya berupa rangkaian bentuk materi dalam pembagian waktu tertentu. Misalnya, dari total waktu 2 jam, pemateri/pembicara diberikan kesempatan untuk menyampaikan dengan metode materi selama 1,5 jam, sementara setengah jam berikutnya diisi dengan metode simulasi dan tanya jawab.
  14. Keterangan


  15. Apapun yang perlu ditambahkan sebagai pesan untuk pemateri/pembicara biasanya ditulis di sini. Kebanyakan berupa harapan-harapan mengenai teknis saat cuap-cuap. Kadang disebutkan juga peralatan-peralatan (apakah disediakan oleh panitia atau disarankan pemateri/pembicara yang bawa?) yang menunjang penyampaian materi.

Cukup membantu? Selamat bikin TOR buat para panitia!!! Ups… Pemimpin rapatnya curiga… Udah dulu, ah…

Wassalamu’alaykum Wr. Wb.


Sumber:
http://karafuruworld.wordpress.com/2008/06/22/8/


Moga sudah jelas, dan tidak bingung lagi ketika anda harus ditugaskan untuk membuat Sumber:
http://karafuruworld.wordpress.com/2008/06/22/8/ ( Terms Of Reference ). Moga anda sukses selalu.

Rabu, 21 Juli 2010

Dipermalukan di Forever 21

Tidak mustahil, kejadian seperti ini bisa terjadi pada siapa sajat, termasuk anda. Masing-masing kita punya harga diri dan martabat. Kejadian yang ditulis di Kompasiana ini bisa menjadi pelajaran buat anda. Berikut kejadiannya:


Pada 1 Maret 2009 sekitar pukul 14.00 saya masuk ke toko Forever 21 di Grand Indonesia, Jakarta. Saat keluar alarm berbunyi dan karena tidak merasa mengambil apa pun, dengan santai saya tetap berjalan keluar. Namun, pegawai toko itu (Saudari Euis) mengejar untuk memeriksa tas dan saya mengizinkan. Karena tidak menemukan apa pun dalam tas, saya dipaksa untuk mengeluarkan isi tas satu per satu. Saya keberatan dan meminta kalau setelah dikeluarkan masih tidak ada apa pun bagaimana? Kompensasi apa yang dapat diberikan karena saya telah dipermalukan di muka umum?

Kemudian dia memanggil supervisor yang tetap ngotot untuk mengeluarkan isi tas saya satu per satu, dengan alasan dia harus mengetahui apa yang menyebabkan alarm berbunyi. Akhirnya isi tas saya dikeluarkan satu per satu di muka umum, di depan kasir dengan dilihat pengunjung, tetapi tetap tidak ditemukan apa pun. Akhirnya dia menyatakan karena tas yang saya pakai bermerek GAP yang menyebabkan alarm bunyi, padahal di toko itu tidak ada barang merek dimaksud.

Tanpa merasa bersalah dia mengembalikan tas saya. Tidak sampai di sini, tetapi setelah saya keluar kembali dikejar oleh pegawai lain karena alarmnya berbunyi lagi. Sangat disayangkan, manajemen toko tersebut tidak berusaha memperbaiki alarm yang dipasang, malah pengunjung dipermalukan. Apakah ada perlindungan terhadap pengunjung mal untuk masalah seperti ini? MARISA MARDONO Jl Albasia A-7, Graha Indah, Bogor
[ Sumber : kompas ]


Bila hal ini terjadi pada anda, apa yang akan anda lakukan? Bagaimana dengan kehormatian kita yang sudah diinjak-injak seperti ini? Kepada siapa kita harus mengadukan masalah ini?
Ingat, kejadian ini bisa menimpa siapa saja, termasuk anda.


Sumber:
**** http://www.pacamat.com/dipermalukan-di-forever-21/

Selasa, 20 Juli 2010

KH Abdur Rozzaq Fachruddin


Kiai Haji adalah pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Ia lahir tanggal 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya ialah KH. Fachruddin (seorang Lurah Naib atau Penghulu dari Puro Pakualaman yang diangkat oleh Kakek Sri Paduka Paku Alam VIII) yang berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo. Sementara ibunya ialah Maimunah binti KH. Idris Pakualaman. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya Abdur Rozak bersekolah formal di Standaad School Muhammadiyah Bausasran Yogyakarta.

Setelah ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang batik juga jatuh, maka ia pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah ke sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat dari Standaard School di Kotagede pada tahun 1928, ia masuk di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan, dan belajar kepada beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri, KH. Abdullah Rosad, dan KH. Abu Amar. Sehabis Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.

Setelah ayahnya meninggal di Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada tahun 1932 Abdur Rozak masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya pada tahun 1935 Abdur Rozak melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tabligh school (Madrasah Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.

Pada tahun 1935, Abdur Rozak dikirim oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah (pada periode KH. Hisyam) ke Talangbalai (sekarang dikenal dengan Ogan Komering Ilir) untuk mengembangkan gerakan dakwah Muhammadiyah. Di sana, ia mendirikan Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia juga mengembangkan hal yang sama di Kulak Pajek, Sekayu, Musi Ilir (sekarang dikenal dengan Kabupaten Muba, Musi Banyu Asin). Tiga tahun kemudian, pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar HIS (Hollandcse Inlandevs School) Muhammadiyah yang setingkat dengan SD. Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Dengan sendirinya sekolah tempat mengajarnya ditutup. Kemudian Abdur Rozak dipindahkan mengajar di Sekolah Muhammadiyah Muara Maranjat, Tanjung Raja, Palembang, Sumatera Selatan sampai dengan tahun 1944. Selanjutnya ia akhirnya kembali ke Yogyakarta.

AR Fachruddin adalah ulama besar yang bewajah sejuk dan bersahaja, yang lebih dikenal dengan nama Pak AR. Kesejukannya sebagai pemimpin ummat Islam juga bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika menyambut kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, sebenarnya ia menyampaikan kritikan, tetapi disampaikannya secara halus dan sejuk. Dalam sambutannya itu, ia mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Akan tetapi disampaikannya pula tentang sikap mengganjal di kalangan umat Islam Indonesia bahwa umat Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang masih menderita agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangun rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, tetapi dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Uskup Yohanes Paulus II, ia mengungkapkan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima denganlapang dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk, serta dijiwai dengan semangat toleransi yang tinggi.

Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1968 setelah di-fait Accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya KH. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, ia akhirnya dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam tiga kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985.

Di samping dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman dalam beragama. Di antara karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Entheng, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah Sebagai Gerakan Amal; Pemikiran Dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur`an dan Hadist; Chutbah Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-enthengan; Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.

Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta, walaupun masih banyak yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Ia wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.


Sumber:
* http://62010.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content& view=article&id=109&Itemid=142

BELAJAR DARI MUHAMMADIYAH


”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. al-Nahl/16: 125.
Tanggal 03-08 Juli 2010 lalu menjadi momen penting dalam sejarah Perserikatan Muhammadiyah. Organisasi Masa yang menapaki usianya satu abad itu menggelar muktamar ke 46, diikuti oleh Muktamar Aisyiah ke 46, dan Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) ke 17. Muktamar Satu Abad Muhammadiyah kali ini menjadi sangat penting, karena organisasi tersebut akan memasuki abad kedua dalam kancah perjuangannya, abad globalisasi dengan segala tantangan dan problematikanya. Muktamar yang mengambil tema: Gerak Melintasi Zaman Dakwah dan Tajdid menuju Peradaban Utama” itu menjadi momentum penting dalam upaya Muhammadiyah membangun jatidiri bangsa.
Muktamar tersebut telah menghasilkan keputusan-keputusan penting, antara lain: revitalisasi pendidikan, revitalisasi kader dan organisasi, dan menetapkan program-program yang lebih terfokus pada: 1) pengembangan gerakan yang maju, profesional dan modern, 2) pengembangan sistem gerakan, sumberdaya manusia, dan amal usaha yang unggul dan mandiri, 3) peningkatan peran strategis dalam kehidupan umat, bangsa, dan dinamika global. Muktamar juga menghasilkan kepemimpinan baru untuk masa lima tahun ke depan yang dikomandani oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin, M.A., selaku Ketua Umum, dan Dr. Agung Danarto, sebagai Sekretaris Umum.
Dalam muktamar itu Muhammadiyah juga memberikan pandangannya tentang: 1). Isu-isu strategis keumatan yang menyangkut masalah: kemiskinan kepemimpinan, komoditasi agama, konservatifisme dan formalisme agama, kemajemukan agama, dan keadilan gender. 2). Isu-isu strategis kebangsaan yang menyangkut masalah: revitalisasi karakter bangsa, pemberantasan korupsi, reformasi lembaga penegakan hukum, perlindungan dan kesejahteraan pekerja, sistem suksesi kepemimpinan nasional, reformasi birokrasi, reformasi agraria dan kebijakan pertanahan. 3). Isu-isu strategis kemanusiaan universal menyangkut masalah: krisis kemanusiaan modern, krisis pangan dan energi, krisis ekonomi global, krisis lingkungan dan perubahan iklim, Islamofobia, migrasi global, dan dialog antar agama dan peradaban.
Muhammadiyah dalam sejarahnya selama satu abad, telah berkarya untuk umat, bangsa, dan dunia. Dalam satu abad Muhammadiyah telah menjadi pelopor bagi gerakan dakwah dan tajdid, gerakan untuk membangun tatanan dunia berdasarkan nilai-nilai peradaban, termasuk nilai-nilai Islam yang luhur. Maka wajar bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato sambutan Pembukaan Muktamar mengakui prestasi tersebut: ” Dalam tempo satu abad Muhammadiyah telah menjadi organisasi kemasyarakatan yang bergerak di barisan terdepan dalam meningkatkan pendidikan, kesehatan, dan amal sosial. Ratusan sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lembaga-lembaga ke-Islam-an telah didirikan oleh Muhammadiyah di seluruh tanah air. Tidak berhenti sampai di situ, Muhammadiyah juga terlibat aktif dalam dialog lintas peradaban, dialog antara Timur, Barat dan Islam, yang ditujukan untuk membangun harmoni antar peradaban yang mengedepankan prinsip saling menghormati dan saling menghargai pluralisme dan perbedaan. Saat ini Muhammadiyah bukan saja telah tampil sebagai salah satu organisasi keagamaan Islam terbesar di tanah air, tetapi juga merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di dunia. Gerakan tajdid Muhammadyah telah membawa pencerahan dan pembaharuan pemikiran umat Islam. Tidaklah berkelebihan kiranya, jika kita katakan bahwa kiprah Muhammadiyah di awal kelahirannya telah berhasil memperbaharui suasana intelektual kaum muslimin di tanah air”.
Karya-karya Muhammadiyah patut menjadi kebanggaan umat dan bangsa Indonesia. Kita patut berterimakasih kepadanya, sekaligus belajar dari sukses-sukses yang telah dicapai. Presiden SBY mengungkapkan rasa terimakasihnya dengan mengatakan: ”Kepada para sesepuh, para alim ulama, pimpinan persarikatan, serta keluarga besar Muhammadiyah dan organisasi-organisasi otonomnya, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas peran aktifnya dalam pencerahan, pencerdasan dan pemberdayaan umat di tanah air. Semoga aktivitas Saudara sekalian dicatat oleh Allah SWT sebagai amal yang sholeh”. Sebagaimana Wakil Presiden, Budiono, juga mengungkapkan rasa terimakasih itu saat menutup Muktamar: “Saya sekarang dapat berdiri disini, di depan para hadirin sekalian, antara lain karena Muhammadiyah. Terimakasih, Muhammadiyah!”. Seperti diketahui bahwa Wapres Budiono adalah lulusan pendidikan SD Muhammadiyah di Kota Blitar. Muhammadiyah telah memberikan kontribusinya kepada anak bangsa dalam gerakan dakwah dan tajdid menuju cita-cita bersama, “Mari kita bersama-sama mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia,” tegas Wapres. Sebuah cita-cita bersama menuju khair ummah (umat terbaik, Q.S. Ali Imrân/3: 110), dan mewujudkan baldatun thayyibah (negeri yang baik, Q.S. Saba’/34: 15).
Gerakan Dakwah
Sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Daftar panjang kisah sukses Muhammadiyah dalam mengembangkan tradisi dakwah sosial di negeri ini dapat disusun secara panjang lebar. Dari mulai merintis penggunaan media modern dalam dakwah berupa buku, majalah, sebaran (leaflet, booklet). Percetakan Persatuan berikut tokoh buku Persatuan dan Toko Buku Siaran adalah contoh lain percetakan dan tokoh buku tertua kaum pribumi, seperti majalah Suara Muhammadiyah.

Seperti juga kepeloporan Muhammadiyah pada era awal dalam pembangunan tempat ibadah di tempat-tempat umum; stasiun, terminal, dan juga mushalla di bandara atau rumah makan. Managemen perjalanan haji, kepanitian kegiatan keagamaan, shalat Ied di lapangan, panti asuhan. Demikian pula pembinaan, nasehat perkawinan dan perjodohan yang pernah dikenal dengan BP-4. Himbauan untuk pemenuhan kewajiban ibadah seperti shalat melalui leaflet ”sopo durung solat (siapa belum salat)?” dan berbagai hal berkaitan dengan ajaran merupakan buah karya Muhammadiyah.

Tentu saja karya terbesar Muhammadiyah dalam kurun satu abad adalah mendorong umat Islam meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sekolah modern yang waktu itu dianggap sekolah kafir. Dengan pendidikan modern itu, demikian kesimpulan penelitian Riaz Hassan sekitar tahun 70-80-an, anak didik menjadi semakin rasional dan puritan sehingga semakin hari semakin meninggalkan upacara-upacara mistik, meninggalkan hal-hal yang bersifat tayayyul, bid’ah, churafat (TBC). Sebuah strategi dakwah yang bervisi jauh ke depan.

Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global.
Sukses dakwah Muhammadiyah, tidak lepas dari misi da’wahnya sejak dilahirkan yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”.
Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
Buya Hamka menjelaskan tentang rahasia sukses dakwah itu karena adanya keteladanan, kelenturan, keluwesan dan gerakan dakwah yang hidup. Bila dakwah hidup, Islam dan kaum muslimin akan terus hidup, maju dan berkembang. Tapi bila dakwah itu mati, Islam dan kaum muslimin akan terpuruk, mundur, statis, akhirnya mati. Dakwah itu harus menggunakan berbagai metode yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat saat itu. Bila dakwah tidak memiliki daya gerak, daya saing, daya merubah sikap dan perilaku, dan daya memperbaiki, maka dakwah itu lemah tak berdaya menuju kematiannya.

Agar dakwah itu terus hidup, diperlukan para da’i (tenaga dakwah) yang terus hidup, tidak pernah berhenti berdakwah. Semangat juang, jihad tidak boleh kendor karena berbagai alasan. Seringkali kita membanggakan jumlah bilangan bahwa mayoritas penduduk Indonesia, 90 %, memeluk Islam. Tapi apalah arti jumlah bilangan yang banyak kalau kualitasnya rendah. Jumlah bilangan yang banyak itu akan mati dan tidak akan mampu menjadi khair ummah (umat terbaik), bila tidak ada dakwah yang hidup, tidak ada amar ma’rûf nahi mungkar, dan tidak ada lagi jihâd fî sabîlillâh, sebagaimana yang disinyalir dalam Q.S. Ali Imran/3: 110. Kuantitas umat harus diikuti dengan kualitas individu-individunya.

Buya Hamka menceriterakan tentang dakwah yang luwes itu seperti yang dilakukan oleh Gerakan Muhammadiyah / Aisyiyah antara tahun 1927 – 1930. Pada saat itu, kaum perempuan Indonesia dari berbagai suku, memakai pakaian yang berbeda-beda, yang terkadang bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak menutup aurat, sangat tipis (transparan) sehingga menampakkan bagian-bagian tubuh terlarang mereka. Gerakan Aisyiyah tidak mencela mereka sebagai haram, berdosa, masuk neraka dan lain-lain. Aisyiyah membuat mode pakaian baru yang islami, cantik, manis, dan menarik. Para anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia menggunakan mode pakaian itu. Akhirnya dakwah itu berhasil. Mode pakaian itu ditiru oleh banyak perempuan Indonesia, termasuk pemuka wanita Islam seperti Rasuna Said dan Rahmah El Yunusiyah. (Hamka, 1984: 32-33)

Buya Hamka sendiri dikenal sebagai sosok luwes dan memahami benar lingkungan dan budaya setempat. Banyak di antara perempuan terpelajar yang masih terpengaruh mode Barat ingin belajar Islam kepada Buya Hamka di Masjid Agung Al-Azhar. Mereka datang dengan pakaian minim dan make up yang berlebihan. Buya tidak berkeberatan mengajar mereka yang berpakaian belum sesuai dengan akhlak Islam itu. Janggal memang seorang ulama besar mengajar perempuan dengan berpakaian terbuka, setengah tutup aurat. Tapi beliau lakukan dengan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Islam. Lama kelamaan, mereka datang ke pengajian itu dengan menutup aurat, berbusana muslimah dengan indah dan rapi. Bahkan pada awal-awal berdiri pendidikan formal Al-Azhar, tidak diwajibkan bagi siswa siswinya untuk berbusana muslimah. Bertahap namun pasti, dakwah itu membawa hasil. (Rusydi, 1982: 156-157).

Islam harus disampaikan dengan bahasa yang dirumuskan secara aktual dan difahami umat, bukan konsep normatif yang rigid (kaku) dan mengawang di langit. Islam harus diterjemahkan ke dalam kehidupan masyarakat yang hidup dinamis. Para da’i adalah orang-orang yang memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan. Islam harus didekati secara manusiawi dan dipahami dari berbagai segi (multi dimensional).

Gerakan Tajdid
Tidak dapat dipungkiri bahwa K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah pelopor gerakan tajdid (pembaruan) di Indonesia. Tajdid yang dilakukan beliau bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian, K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan.
Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: ”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.
Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak ummatan wasatha (masyarakat tengah) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan.
Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihâd li al-muwâjjahât) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-jihâd li al-mu’âradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah).
Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhadâ’ ‘ala al-nâs di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas.
Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasâd fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
Gerakan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan) dapat dilihat dari awal sejarah gerakan Muhammadiyah. Dalam gerakan tajdidnya, beliau tetap bertahan dengan kelenturan dan posisi tengah sebagai ciri khas gerakan Muhammadiyah.
K.H. Ahmad Dahlan hidup di lingkungan kauman di Yogyakarta. Beliau membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, belajar huruf latin, dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, Muhammadiyah, diterbitkan publikasi rutin melalui mesin cetak modern, dan didirikan sekolah persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren. Sebuah loncatan pembaruan luar biasa saat itu.
K.H. Ahmad Dahlan termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan perangkat modern Barat, merupakan gerak loncatan historis yang jauh ke depan.
Oleh karena itu, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, namun jauh di dalam diri Dahlan, dalam analisis Yudi Latief (kepala PSIK-Indonesia), bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua akan runtuh.
Buya Hamka menjelaskan tentang tajdid (pembaruan, modernisasi) sebagai hal yang mutlak diperlukan di segala bidang. Modernisasi diperlukan untuk membangun jiwa bebas merdeka setelah sekian tahun terjajah. Modernisasi dari suasana feodal kepada alam demokrasi. Modernisasi dari sebuah negeri agraris tradisional menjadi Negara maju dan industrialis. Modernisasi dari suasana kebodohan kepada ilmu pengetahuan. Modernisasi ilmu pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. (Hamka, 2002, hal. 266-267).

Karena umat Islam tidak mau berkompromi dengan kolonialisme dan kristenisasi, maka pihak penjajah memeras otak untuk dapat menjinakkan umat Islam yang dianggap "liar" itu. Caranya dengan menyusun sistem pendidikan baru. Snouck Hourgronye pernah memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda, supaya semangat Islam itu lemah dan kendor, agar diberikan pendidikan yang mengemukakan kemegahan nenek moyang sebelum Islam datang, hendaknya mengobarkan semangat nasionalisme, dan membangun orientasi berpikir seperti barat. Sejak di sekolah dasar, hendaknya ditanamkan dasar netral agama. Setelah masuk jenjang perguruan tinggi, dituntun mempelajari agama Islam secara "ilmiah" yang dipandu oleh sarjana barat (para orentalis) yang beragama Kristen dan Yahudi, yang memandang Islam dari luar. Dengan model pendidikan itu, mereka merasa sebagai kalangan terpelajar Islam. "Bikinlah mereka jadi Belanda di Timur, sebagaimana kita jadi Belanda di Barat", kata Hourgronye. Ditanamkan kepada mereka bahwa Islam itu kotor, santrinya kotor dan kudisan, kyainya tukang kawin bininya banyak, kolam masjidnya kotor dan sebagainya. Pahlawan yang dibanggakan bukan raden Patah atau Sunan Gunung Jati, melainkan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Akhirnya mereka memandang Islam dengan sinis dan penuh cemoohan. (Hamka, 2002: 306).

Sebagai akibat dari sistem pendidikan barat itu, maka di kalangan orang Islam yang teguh memegang Islam menjadi antipati dengan segala yang berbau Belanda (Barat). Mereka yang tinggi ghirah agamanya tidak sudi menyekolahkan anaknya ke sekolah Belanda. Mereka lebih suka mendirikan pondok, belajar pengetahuan Islam yang tinggi ke Makkah lalu pulang. Setelah pulang mereka mendidik anak-anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan memisahkan diri. Maka di negeri ini muncul dua golongan terpelajar Islam, yang satu golongan berkiblat ke Amsterdam dan yang lain berkiblat ke Makkah. Didikan Barat memandang sinis kepada agama, dan pendidikan surau membenci segala yang berbau barat. Keduanya memandang yang lain dari segi negatifnya saja. (Hamka, 2002: 308)

Pertentangan dua front yang berbeda cara berpikir itu begitu kuat sampai zaman kemerdekaan. Pertentangan itu terus berlangsung entah sampai kapan akan berakhir. Gagalnya umat Islam dalam sidang Majelis Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955, adalah bukti nyata betapa pada dua kubu itu terdapat jurang yang sangat dalam yang sangat sulit didamaikan. Bahkan pertentangan dua kubu itu masih kita rasakan pengaruhnya sampai saat ini dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan Islam sangat diperlukan. Cara pandang yang serba negatif dan mencoba lari dari Islam harus dihentikan. Anak-anak Islam harus dididik untuk kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah. Bangga dengan sumber ajaran agamanya, memahami sejarah bangsanya, dan tidak tercerabut dari akar keislamannya. Begitu juga cara pandang yang sempit, mengisolasi diri, tidak mau membuka wawasan, sejatinya telah melenceng dari ajaran hakiki Islam yang menyuruh untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi khalifah di muka bumi.

Kita tampaknya harus belajar banyak dari Muhammadiyah yang punya komitmen kuat dalam gerakan dakwah yang ramah dan gerakan tajdid yang inovatif. Semoga di kurun abadnya yang kedua, langkah dakwah dan tajdidnya lebih bervisi jauh ke depan untuk kejayaan umat dan bangsa di masa yang akan datang.

Penulis,


Dr. H. Shobahussurur, M.A.
Ketua Takmir Masjid Agung Al-Azhar Jakarta

* Oleh-oleh penulis menghadiri undangan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta.

Basyir Menggugat





Basyir, kau kibarkan merah putih malu-malu

Lalu, kau jerat lehermu dengan tambang

Kau memberontak dengan caramu

Asamu telah habis, harapmu sirna

Merah putih jadi saksi

Merah putih meratap tak berdaya

Merah putih robek kebesarannya

Basyir, perlawananmu menggetarkan

Membuka topeng, betapa rapuh kebesaran bangsa

Betapa timpang kesenjangan

Betapa membatu nurani

Betapa beku empati

Basyir, maafkan kami

Tuhan, ampuni kami…

Sunaryo Adhiatmoko

Pengelola sekolah rakyat, Rawa Kalong, Gunungsindur, Bogor





Semua kita tentu merinding, dengan pilihan Muhammad Basyir (11) yang mengakhiri hidup dengan gantung diri di Kios Pasar, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Para tetangga mengenal Basyir sebagai anak yang berbakti. Ia rajin membantu orang tuanya dengan menjual kardus bekas dan ngojek payung, jika musim hujan.

Banyak sebab, kenapa ia mengakhiri hidup di usia belia. Konon, menurut keluarga terdekatnya, kedua orang tua Basyir kerap bertengkar karena tekanan ekonomi. Sebagian, juga mengungkapkan keinginan Basyir yang ingin sekolah, namun tak juga terwujud. Meski, ia pernah mencicipi sekolah SD hingga kelas dua, di kampung halamannya, Aceh.

Di kios tempat Basyir menjemput maut, tampak pemandangan yang menggetarkan. Bocah yang bercita-cita jadi polisi dan dokter itu, memancang Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di atas atap kios. Ia, seakan meninggalkan tanda agar ada orang menyaksikan, seorang anak manusia begitu mengiba ingin sekolah.

Sayang, sebagian mata kita telah buta, nurani mati, dan negara telah jadi penguasa yang tak berdaya. Basyir mengibarkan merah putih sebagai simbol perlawanan, betapa timpang sistem pendidikan di negeri ini. Semua terlambat, tapi Basyir menyengat, agar tak lagi ada anak bangsa yang jadi tumbal ketidakadilan pendidikan.


Sumber:
http://metro.kompasiana.com/2010/07/17/basyir-menggugat/

Senin, 19 Juli 2010

Minuman Daerah dan Istri Koran


3 orang cowok bujangan ngumpul :
cowok Manado bilang : ..Kitorang Manado selalu minum Extra Jo. Kong ngana di Makassar minum apa ?"
cowok Makassar bilang dgn bangga : .." Kita minum Krating Daeng.."
cowok makassar lalu bertanya ke cowok Ambon : ..: kalo di Ambon minum apa ?"
cowok ambon terdiam beberapa saat , kemudian dengan percaya diri menjawab :..."BETA-DINE" ...


----
Seorang istri melihat suami assyik banget baca koran terbitan sore..dia ngedumel...
"ENAK ..JADI KORAN YAA..TIAP SORE DIPANDAAANG. ..dan DIPEGANGIIIN TERUS..."

Suami menjawab dengan cuek..."ANDAIKAN KORAN INI ISTRIKU...ENAK YA..TIAP HARI GANTI TERUUUUS...! !!

Sang istri ngomel...."Dasar suami gendheeeeng. ..."