Pandangan
kita terkadang salah dalam menilai.
Bahkan menilai diri kita sendiri.
Apalagi menilai orang lain.
Tatkala kita
menilai sebuah kesuksesan, yang dijadikan ukuran diri adalah kesuksesan
dunia dan materi. Seperti harta, jabatan, kekuasaan dan seterusnya.
Sebaliknya,
kita sering menilai sebuah kegagalan berarti tidak sukses dalam arti materi. Sehingga ketika kita melihat
orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki jabatan, tidak memiliki kedudukan, kita menganggap ia adalah orang
yang gagal dalam hidup ini.
Inilah
penilaian manusia secara umum. Sebagaimana yang diberitakan oleh Allah swt,
dalam firmannya:
فَأَمَّا
الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِي (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ
رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي (16)
“ Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah
memuliakanku."
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia
berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575]. (Q.s. Al Fajr : 15 – 16 ).
Dalam ayat di atas menunjukkan kepada kita sikap manusia, bahwa
kesuksesan, keberhasilan dan kemuliaan ketika dia mendapatkan kesuksesan materi. Kekayaan, harta, kedudukan,
jabatan, istri yang cantik, suami yang ganteng, anak keturunan dan seterusnya.
Padahal tidak demikian, bahkan
Allah swt menyalahkan orang-orang yang
mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah
suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya
kekayaan, kemiskinan, kedudukan,
pasangan yang cantik dan ganteng, anak keturunan adalah ujian Tuhan bagi
hamba-hamba-Nya.
Seorang manusia merasa bahwa apa
yang diberikan oleh Allah swt kepadanya
dari ujian kesulitan hidup adalah siksaan, dan adzab. Sehingga seakan-akan ia
adalah orang yang paling sulit hidupnya. Ia orang yang paling menderita dalam
hidupnya. Tidak ada orang lain yang mendapatkan kesulitan lebih dari dirinya.
Padahal Allah swt telah memberikan
contoh dari umat-umat sebelum ini. Allah swt berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ
فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ
“ Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa
mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon
(kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (Al Anam 42 )
Manusia terkadang banyak hidup dengan kesombongan, kepongahan. Tidak
bersyukur dan tidak tawadzu. Bahkan
kepada Allah swt sekalipun, mereka lupa dan tidak mau merendahkan diri.
Oleh karena itu Allah swt memberikan kepada mereka siksaan, ujian,
kesulitan. Tujuan dari ujian dan siksaan serta berbagai kondisi sulit itu adalah
agar manusia kembali kepada fitrahnya. Yaitu perlu kepada Dzat yang paling kuat
yang memberikan kekuatan. Yaitu Tuhan
mereka Allah swt. Saat kondisi lemah,
tidak berdaya, biasanya akan menyadari
dirinya sehingga menyeru kepada Allah swt, memohon dan menghiba kepada-Nya. Untuk tujuan itu, Allah swt mengutus para Nabi
dan Rasul untuk meberikan penjelasan, pengajaran dan pendidikan tentang hal ini. Namun ternyata tidak mudah bagi manusia untuk
segera menyadari hal ini. Bahkan tidak
sedikit perasaan dan rohaninya semakin bebal.
Ketika manusia tidak bisa
menangkap pesan Allah swt ini, karena bebalnya rohani, bodohnya spiritual,
tidak sedikit Allah swt kemudian menguji
mereka dengan kemudahan hidup, kesuksesan materi, kedudukan yang tinggi,
kemapanan dst.
فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ
قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“ Maka mengapa mereka tidak
memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan
Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun
menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. “ ( Al Anam 43
).
Sehingga
hatinya semakin membatu. Ruhaninya semakin bebal, sehingga cahaya hidayah tidak
bisa menembusnya. Apalagi syetan semakin menghiasinya, sedikit-demi sedikitnya menuntun kepada
kekufuran dan kefasikan.
Ketika
kondisi demikian, maka Allah swt justru membuka pintu materi, dan kesuksesan
duniawi. Bukan sebagai karunia atau
kenikmatan yang diberikan untuk mereka, tapi sebagai istidroj “ pemberian untuk menghinakan dan merendahkan “.
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ
شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ
مُبْلِسُونَ
“ Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. “ ( Al Anam 44 )
Sehingga banyak kita saksikan orang-orang yang mendapatkan harta
kekayaan, kedudukan yang tinggi dan berbagai fasilitas kemudahan dan kemewahan.
Orang tersebut merasa bahwa itu adalah karunia, padahal kemaksiatan
terus dia jalankan. Berbagai kebohongan
dilakukan untuk mendapatkan semua itu. Ia bahkan merasa bahwa ia pantas
mendapat karunia tersebut. Ia berhak
untuk mendapatkan semua itu.
Padahal yang sebenarnya adalah istidroj. Apa itu istidroj? Istidroj
adalah “ pemberian Allah swt untuk menghinakan “. Agar ia tidak segera
bertaubat, bahkan semakin jauh dalam
kemaksiatan, semakin menancap dengan
kesombongan dan tidak segera kembali kepada Allah swt. Sehingga ketika ia dalam kondisi kemaksiatan
itu, maka Allah swt mengambilnya dan
mematikannya secara mendadak. Sehingga
ia tidak sempat lagi bertaubat. Sungguh
penderitaan yang berkepanjangan, yaitu kehinaan di dunia, dan penderitaan di
akhirat.
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Maka orang-orang yang lalim itu
dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ( Al Anam 45 )
Sebagai contoh:
Firaun yang memiliki kekuasaan, yaitu sebagai seorang raja.
Haman, perdana menterinya Fir’aun, yang mendaptkan jabatan sebagai
perdana menteri.
Qorun, yang memiliki kekayaan yang sangat banyak sekali, yang kunci-kuncinya
sangat banyak, yang tidak mampu dipikul oleh 7 orang yang kuat sekalipun.
Ternyata semua itu bukan karunia, tapi sebuah istidroj, yaitu pemberian
dari Allah untuk menghinakan mereka di akhirnya.
Sehingga kesuksesan duniawi bukanlah kesuksesan yang sebenarnya.
Kesuksesan yang sebenarnya adalah tatkala kita dalam ketaatan dan
ketundukan kepada Allah swt. Apapun kondisi yang kita alami dalam kehidupan
ini. Kehidupan yang mudah, maupun kehidupan yang sulit.
Bersyukur ketika dalam kemudahan, dan cara bersyukur yang paling baik
adalah menghambakan diri kepada Allah swt, dan memanfaatkan karunia tersebut
dalam ketaatan.
Bersabar ketika dalam kesulitan. Tanda kesabaran yang paling utama
adalah tetap beribadah dan mensyukuri
apa yang ada kepada Allah swt saat kondisi sulit. Bila dalam kondisi sulit saja
tetap beribadah, dan bersyukur, apalagi ketika dalam kondisi mudah.
Segera bertaubat ketika dalam maksiat. Karena kita sebagai manusia tidak
akan terlepas dari berbuat maksiat.
Sebaik-baik orang yang bermaksiat adalah segera bertaubat. Dan bahkan
terkadang kemaksiatan kita bukan hanya sekali, atau dua kali. Maka sebaik-baik
orang yang banyak maksiat adalah orang yang banyak taubat. Karena orang yang
bertaubat adalah laksana orang yang tidak berdosa.
Bagaimana
kita menyikapi kesuksesan duniawi yang kita dapatkan? Seperti kekayaan,
kedudukan, jabatan dan lain sebagainya.
Jangan sampai kita salah dalam menilai diri
kita dengan yang diberikan oleh Allah
swt tersebut. Allah swt menjelaskan dalam surat Nuh ayat 10 - 12 :
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ
غَفَّارًا ( 10 ) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ
مِدْرَارًا ( 11 ) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ
وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا ( 12 )
“Maka Aku katakan kepada mereka:
‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. # Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu
dengan lebat, # dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai.” # Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran
Allah? (( 10 - 13 )
Dalam ayat-ayat di atas bahwa
karunia Allah swt dan nikmat itu diberikan kepada orang-orang yang bertaubat
dan memohon ampun kepada Allah. Merendahkan diri kepadanya,
menjauhkan dari segala kesombongan apalagi
kesombongan kepada Allah swt.
Bila diri anda mendapatkan kemudahan, fasilitas kemudahan hidup, jabatan
dan berbagai kemudahan lainnya dan anda senantiasa bertaubat kepada Allah swt.
Beribadah kepada-Nya, tawadzu kepada sesama manusia, apalagi di hadapan Allah
swt. Merasa semua itu berasal dari Allah
swt, dan akan kembali kepada-Nya, kemudian memanfaatkannya dalam ketaatan dan
bukan dalam kemaksiatan, maka itu adalah karunia Allah swt.
Bila yang terjadi adalah sebaliknya, anda merasa diri hebat, merasa diri
mampu, merasa diri telah berusaha keras sehingga berhasil. Dan menilai orang
lain tidak seperti anda karena mereka tidak hebat, mereka tidak mampu dan kmereka
urang berusaha keras, maka berhati-hatilah. Kesuksesan anda itu adalah istidroj.
Segeralah kembali kepada Allah swt, segeralah
memohon ampun kepada Allah swt. sebelum Allah
swt mengambilnya secara tiba-tiba, yang akan menghinakan anda di dunia,
dan membuat anda menderita berkepanjangan di akhirat.
Semoga Allah swt menjadikan kita sebagai hamba yang mendapatkan karunia,
dan bukan manusia yang mendapatkan istidroj. Amin ya Robbal a’alamin.