Senin, 02 Agustus 2010

Perekat

Senin, 02 Agustus 2010, By Ivan
Menjelang bulan romadlon, para mahasiswa muslim di kampus pak adil, sepakat untuk menyelenggarakan acara tarhib romadlon. Sebagai pembicara,pilihan jatuh kepada pak sujahtra, yang dengan senang hati, berkenan untuk memenuhi undangan. Sebagaimana biasanya, pak sujahtra selalu mengawali khutbahnya,dengan menyampaikan pertanyaan. Seandainya ada dua hadits shahih, yang satu mengisahkan perilaku Rasulullah, dan yang lainnya mengisahkan ucapan atau pernyataan Rasulullah, namun isi kedua hadits tersebut bertentangan, yang manakah diantara kedua hadits tersebut yang lebih kuat kedudukannya. Masih bingung, tanya pak sujahtra ketika melihat seisi kelas memandangnya dengan melongo. Begini contohnya, lanjut pak sujahtra. Ada sebuah hadits yang mengisahkan pernyataan Rasulullah, bahwa jumlah rokaat dalam sholat maghrib ada tiga, sedangkan ada hadits lain yang mengisahkan bahwa Rasululah pernah melaksanakan sholat maghrib empat rokaat, maka, hadits yang pertama lebih kuat kedudukannya, karena ternyata, Rasulullah melaksanakan sholat maghrib empat rekaat lantaran beliau lupa jumlah rekaat yang sudah beliau kerjakan.
Apa yang terlihat oleh khalayak pada diri seseorang, belum tentu mewakili karakter orang tersebut, kecuali orang yang bersangkutan menguatkannya dengan pernyataan. Sebagai contoh, ketika sebagian kader da'wah melihat sebagian kader yang lain mengenakan atribut duniawi yang dalam ukuran mereka, mewah, jangan langsung menyimpulkan bahwa sebagian kader sudah mulai meninggalkan sikap hidup sederhana dan mulai bermewah-mewahan. Selama tidak ada pernyataan dari kader yang menguatkan persepsi kita, maka persepsi yang berawal dari prasangka buruk,harus digugurkan. Prasangka baik apa, yang bisa kita pakai untuk menafsirkan peristiwa ini. Banyak sekali. Tafsir pertama, ukuran mewah atau tidak mewah,sangat relatif. Bagaimana menyamakan gaya hidup sederhana kepada Utsman Bin Affan yang terlahir sebagai bangsawan kaya raya, dengan Abu Dzar Al Ghifari yang terbiasa hidup seadanya sebagai suku badui pengembara. Tafsir kedua, sebagai seorang da'wi, ada obyek da'wah berupa komunitas masyarakat tertentu yang lebih efektif untuk dida'wahi, bila kita menyandang atribut mewah. Tafsir ketiga, keempat, dst., silakan disusun sendiri, lanjut pak sujahtra.
Contoh yang lain, ketika acara kampanye terbuka calon kada yang diusung partai da'wah, berkoalisi dengan partai lain, diisi dengan penampilan artis dangdut nan semlohoy, jangan langsung menyimpulkan bahwa sebagian kader da'wah tidak suka melihat penampilan artis tersebut, ups salah, maksudnya, jangan langsung menyimpulkan bahwa para qiyadah sudah mengizinkan berkampanye dengan iringan maksiat seperti itu. Lalu, apakah kita berharap para qiyadah dengan gagah berani mengumumkan di media massa bahwa partai da'wah sama sekali tidak menyetujui dan tidak bertanggungjawab terhadap penampilan artis seronok tersebut, yang sangat berisiko menyinggung dan melukai perasaan mitra koalisi, yang sejatinya adalah obyek da’wah, yang sudah mulai jinak hatinya kepada da’wah.
Diam, tidak memberikan penjelasan, dan membiarkan para kader menyimpulkan sendiri, terkadang merupakan langkah yang terbaik, sebagaimana kisah berita bohong yang dialami oleh ummul mu’minin, siti aisyah ra, yang dituduh telah melakukan kejahatan bersama dengan seorang sahabat bernama shofwan. Ummul mu’minin, siti aisyah ra, tidak menjawab atau menjelaskan ketidakbenaran berita tersebut. Kemudian, dikalangan sahabat, terjadi dialog antara suami dengan isterinya. Sang isteri, ketika memposisikan dirinya sebagai ummul mu’minin, tidak akan melakukan perbuatan tersebut, apalagi bila membandingkan, bahwa ummul mu’minin jauh lebih baik dibanding dirinya. Demikian juga dengan sang suami, ketika memposisikan dirinya sebagai shofwan, juga tidak akan melakukan perbuatan tersebut, apalagi bila membandingkan, bahwa shofwan lebih baik dibanding dirinya. Maka, apakah kita akan menuduh para qiyadah, yang kualitas keshalihannya jauh melebihi kita, membolehkan kemaksiatan ketika berkampanye.
Prasangka baik, akan melahirkan ketsiqohan. Tho’at dan tsiqoh, merupakan perekat dalam berjama’ah. Seringkali, sebagian kader menempatkan tsiqohnya secara terbalik. Mensikapi beberapa kader yang terjerat kasus hukum, kader lebih mempercayai aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, atau KPK, dibandingkan mempercayai kader yang sedang menghadapi musibah tersebut.
Padahal, bukan rahasia lagi bahwa lembaga-lembaga penegak hukum, seringkali
bertindak sebagai makelar kasus atau dipergunakan oleh penguasa untuk menekan
rival politiknya. Sebaliknya, ketika seorang ustadz dikeluarkan dari jama’ah
melalui keputusan syuro, kader lebih mempercayai sang ustadz dan menuduh para
qiyadah telah berbuat dzalim dengan memberhentikan sang ustadz, seakan-akan,
para ustadz yang bergelar Lc dibelakang namanya, semuanya ma’shum, terbebas
dari dosa dan kesalahan.
Sebagaimana sahabat Abu Bakar ra yang diberi gelar asshiddiq oleh Rasulullah SAW karena selalu membenarkan perbuatan Rasulullah SAW, demikian pula seharusnya sikap
yang dimiliki oleh kader da’wah terhadap para qiyadahnya. Apakah kader partai
da’wah bisa disamakan dengan pengikut gusdur terhadap gusdur, karena kader
partai da’wah terkesan selalu mencari pembenaran terhadap setiap kebijakan yang
diambil oleh para qiyadahnya. Tentu tidak sama, karena kader memiliki hak untuk
bertanya, dalam memahami beberapa peristiwa yang membutuhkan klarifikasi. Hak
untuk bertanya, telah dimanfaatkan oleh sebagian kader, pada acara pertemuan
dengan para qiyadah yang telah beberapa kali diselenggarakan.
Mengapa prasangka buruk yang melahirkan ketidaktsiqohan bisa muncul di kalangan kader da’wah? Jawabannya sederhana, karena kader sudah tidak lagi intim dengan tarbiyah dan dengan struktur partai. Maksudnya, kader sering bolos dalam pertemuan mingguan dan tidak aktif di partai. Kader yang rajin hadir pertemuan mingguan, tetapi diam-diam menganut jargon, tarbiyah yes partai no, rentan terjangkit penyakit ini. Pak sujahtra menutup khutbahnya dan memberikan kesempatan bertanya kepada para peserta tarhib.
Apakah kader yang rajin menghadiri pertemuan mingguan ,tetapi sering tertidur di saat pak boss sedang menyampaikan taujih, termasuk kader yang rentan terserang penyakit ini? tanya salah satu peserta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar