by : Masturi Istamar, Lc., M.Phil.,
Dosen dan Penggiat Sosial Kemasyarakatan
Dalam
menghadapi polemik masalah berbagai aktivitas yang mengumpulkan orang
banyak, termasuk pelaksanaan ritual keagamaan, antara dilaksanakan
atau tidak ? Terutama di kalangan umat Islam seperti sholat lima waktu
berjamaah di Masjid, bahkan pelaksanaan sholat Jumat, bagimana
menyikapinya?
Menurut saya, kita ikuti penetapan 2
pekan 16 Maret 2020 - 30 Maret 2020, yang ditetapkan pemerintah untuk
tidak berinteraksi dengan orang banyak. Sehingga selama 2 pekan itu :
1.
Tidak berjamaah di masjid dan berjamaah di rumah. Saat inilah sholat
di rumah pahalanya lebih banyak daripada di masjid. Belum tentu
kesempatan ini datang di waktu yang lain.
2. Tidak
Sholat Jumat, karena posisi hifdzunnafsi itu lebih tinggi daripada
menegakkan syiar, apalagi yang punya otoritas menyelenggarakan syiar
yaitu pemerintah dan ulama sudah menyampaikan fatwanya.
3. Kita tidak ke masjid bukan hanya takut ketularan. Kalau ketularan dan mati, insyaallah mati syahid.
Kalau
saya sendiri justru khawatir menulari, karena kita tidak bisa
memastikan kita bebas virus. Kalau menulari, yang kita tulari adalah
orang beriman. Bisa dibayangkan dosa yang kita tanggung bila kita
menulari, yang kita tulari menulari orang lain dan seterusnya.
Bisakah kita menghentikannya? Saya teringat dengan surat An Nur ayat 19.
"
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat
keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab
yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu
tidak mengetahui."
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar