Basyir, kau kibarkan merah putih malu-malu
Lalu, kau jerat lehermu dengan tambang
Kau memberontak dengan caramu
Asamu telah habis, harapmu sirna
Merah putih jadi saksi
Merah putih meratap tak berdaya
Merah putih robek kebesarannya
Basyir, perlawananmu menggetarkan
Membuka topeng, betapa rapuh kebesaran bangsa
Betapa timpang kesenjangan
Betapa membatu nurani
Betapa beku empati
Basyir, maafkan kami
Tuhan, ampuni kami…
Sunaryo Adhiatmoko
Pengelola sekolah rakyat, Rawa Kalong, Gunungsindur, Bogor
Semua kita tentu merinding, dengan pilihan Muhammad Basyir (11) yang mengakhiri hidup dengan gantung diri di Kios Pasar, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Para tetangga mengenal Basyir sebagai anak yang berbakti. Ia rajin membantu orang tuanya dengan menjual kardus bekas dan ngojek payung, jika musim hujan.
Banyak sebab, kenapa ia mengakhiri hidup di usia belia. Konon, menurut keluarga terdekatnya, kedua orang tua Basyir kerap bertengkar karena tekanan ekonomi. Sebagian, juga mengungkapkan keinginan Basyir yang ingin sekolah, namun tak juga terwujud. Meski, ia pernah mencicipi sekolah SD hingga kelas dua, di kampung halamannya, Aceh.
Di kios tempat Basyir menjemput maut, tampak pemandangan yang menggetarkan. Bocah yang bercita-cita jadi polisi dan dokter itu, memancang Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di atas atap kios. Ia, seakan meninggalkan tanda agar ada orang menyaksikan, seorang anak manusia begitu mengiba ingin sekolah.
Sayang, sebagian mata kita telah buta, nurani mati, dan negara telah jadi penguasa yang tak berdaya. Basyir mengibarkan merah putih sebagai simbol perlawanan, betapa timpang sistem pendidikan di negeri ini. Semua terlambat, tapi Basyir menyengat, agar tak lagi ada anak bangsa yang jadi tumbal ketidakadilan pendidikan.
Sumber:
http://metro.kompasiana.com/2010/07/17/basyir-menggugat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar