Jumat, 29 Mei 2009

Penyimpangan Sosial*

Published at Masturi's Weblog in 23.9.07:


(Dakwah, Menanggulangi Penimpangan Sosial)

Fenomena

Fenomena penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat seperti masyarakat mahasiswa, bisa diberikan beberapa komentar:
1. Penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat bisa dikatagorikan dalam; penyimpangan perilaku bisa sosial dan seksual, penyimpangan intlelektual, penyimpangan keyakinan atau akidah. Penyimpangan intelektual dan penyimpangan ideologis lebih berat dibandingkan penyimpangan sosial. Dan yang paling berat adalah penyimpangan ideologis.
2. Yang terjadi di tengah masyarakat umum jauh lebih parah bila dibandingkan yang terjadi di masyarakat Mahasiswa.
3. Apabila penyimpangan itu terjadi pada masyarakat yang agamis, maka yang terjadi di luar itu sesungguhnya lebih parah lagi.
4. Penyimpangan perilaku yang ada di masyarakat secara umum, sesungguhnya tidak terjadi spontan, akan tetapi melalui proses dan waktu yang cukup panjang.
5. Perubahan perilaku itu tidak berdiri sendiri, sebelumnya didahului oleh perubahan kerangka berpikir dan keyakinan.
6. Diantara faktor penyebab utama penyimpangan tersebut adalah sikap individualis dan terjadinya erosi kepedulian sosial....



Pandangan masyarakat terhadap penyimpangan perilaku sosial

Dalam memandang fenomena yang terjadi di tengah mahasiswa khususnya dan pada masyarakat pada umumnya tidaklah sama:
-Ada yang menganggap penyimpangan tersebut sebagai trend dan perubahan zaman, yang harus diikuti, dinikmati dan tak perlu ada sikap konfrontatif.
-Ada yang menganggap penyimpangan yang terjadi tersebut sebagai peluang yang harus diambil keuntungan materi, dan kesempatan itu hanya sekali. Bisa dijadikan sebagai komoditi jual.
-Ada yang menganggap penyimpangan tersebut sebagai sebuah perubahan nilai ke arah yang negatif yang harus diperbaiki.

Masyarakat dengan berbagai srata tatanannya yang terdiri dari:
-Masyarakat umum sebagai pelaksana aktivitas masyarakat.
-Intelektual, termasuk di dalamnya ruhaniawan dan agamawan sebagai konseptor dari kerangka berpikir sistem kemasyarakatan.
-Politisi dan pelaksana pemerintahan sebagai pengawal sistem dan struktural.
Juga berbeda-beda dalam memandang fenomena ini.

Pandangan seorang muslim.
Dipersilahkan kepada masyarakat dengan stratanya untuk memandangnya dengan dimensi masing-masing. Dipersilahkan untuk menilainya apakah hal-hal tersebut sebagai hal yang positif atau negatif? Apakah dijadikan sebagai trend yang harus dinikmati dan diikuti sebagaimana trend-trend yang lain? Ataukah akan dijadikan sebagai ladang bisnis yang bisa difasilitasi untuk mengambil keuntungan yang belum tentu datang di kesempatan lain? Ataukah hal itu akan dipolitisir untuk dijadikan sebagai komoditi untuk mencapai kekuasaan?
Namun fitrah manusia yang sehat, orang tua yang masih hidup fitrah sebagai orang tua, agamawan yang komit dengan agamanya masing-masing , dan seorang muslim yang komit dengan ajaran agamanya dalam melihat fenomena ini akan bertemu dalam satu muara; yaitu kebaikan umum. Masing-masing tidak akan berbeda dalam menilai bahwa penyimpangan perilaku tersebut adalah sebuah penyimpangan yang menuju kepada kehancuran.
Dengan demikian, kita akan mendapatkan dua bentuk masyarakat; bentuk pertama masyarakat yang sakit yang menganggap sebagai trend yang harus diikuti, ataukah sebagai peluang yang mendatangkan keuntungan, ataukah yang lainnya, dari manapun mereka berasal. Dan bentuk kedua masyarakat yang sehat yang ingin memberikan solusi pengobatan.
Begitulah seharusnya seorang mukmin memandang.

Sikap seorang da’I
Yang kami maksudkan dengan seorang da’I muslim adalah orang yang masih meyakini Islam sebagai konsep hidup, berusaha untuk mengamalkannya semaksimal ia mampu, dan berusaha untuk mendakhwahkannya kepada orang lain agar kebaikan Islam bisa juga dinikmati oleh orang lain. Profesi apapun yang dijalani selagi dalam koridor yang dibolehkan Islam; sebagai petani, birokrat, bisnisman, politisi, guru, guru agama, pendidik dan lain sebagainya.
Saat menyaksikan adanya penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat tersebut, hendaknya bersikap:

1. Tidak berkecil hati, sebab yang terjadi adalah sebuah kemungkaran yang berlaku dari dulu hingga sekarang, dan terjadi di berbagai masyarakat, dan akan terus ada. Hanya kadarnya yang berbeda. Tugas da’I adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bukan dituntut hasil.
2. Fenomena tersebut akan menjadikan sang da’I untuk lebih komitmen dengan nilai-nilai kebaikan yang memang diperjuangkan oleh Islam, dan sedang ia perjuangkan dan jika ia lengah hal itu akan bisa menjangkitinya juga.
3. Fenomena yang terjadi itu lebih memacu lagi untuk bekerja mengadakan perbaikan-perbaikan, sehingga ia adalah lapangan ibadah yang harus dimanfaatkan dan dimaksimalkan dalam memperbaikinya.
4. Bekerja sama dengan siapa saja yang tidak menerima terjadinya penyimpangan tersebut untuk menyelesaikan penyakit masyarakat tersebut. Karena penyimpangan yang terjadi juga akan mengarah kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal terhadap dekadensi moral.
5. Mengadakan team network dengan semua unsur masyarakat yang masih berkemauan untuk memperbaiki keadaan untuk mengadakan pembagian kerja, sesuai dengan lapangan garapannya masing-masing; sebagai orang tua, pendidik, mahasiswa, politisi, pejabat dan lain sebagainya.
6. Konsisten untuk selalu mengadakan perbaikan, tidak berhenti walau sekejap. Sebab, berhenti sejenak berarti memberikan peluang kepada penyimpangan itu untuk beranak-pinak.

Usulan solusi
Perlu dipikirkan berikutnya untuk mengembalikan masyarakat kepada nilai kebaikan. Untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut, kita harus tahu pokok dari permasalahannya;
Kalau bisa diamati secara global sebab dari masalah disebabkan oleh dua hal:
1. Kebodohan: bodoh terhadap nilai-nilai agama,terhadap nilai-nilai luhur, terhadap orientasi hidup.
2. Hawa nafsu: nafsu seksual, nafsu harta, nafsu kedudukan dan lain sebagainya.

Selanjutnya kepada para da’I untuk memelopori adanya perubahan-perubahan menuju kepada kebaikan, dalam skala individu, keluarga dan masyarakat. Proses perubahan tersebut:
1. Merubah dari kebodohan kepada pengetahuan.
Yang kami maksud kebodohan di sini bukan kebodohan intelektualitas, akan tetapi kebodohan terhadap agama, nilai-nilai luhur, dan orientasi hidup. Buta huruf lebih ringan permasalahannya daripada buta agama, buta nilai-nilai luhur, dan buta orientasi hidup.
Untuk mengatasi hal ini sang da’I perlu memberikan pengajaran kepada masyarakatnya dengan berbadai sarana dan prasarana yang ia miliki. Sesuai dengan kapabilitas yang ia miliki. Sang da’I tidak boleh berhenti dan berputus asa untuk menjalankan perannya ini.
2. Merubah dari pengetahuan menjadi kerangka berpikir.
Tidak semua informasi yang masuk ke dalam otak seseorang, dijadikan sebagai pijakan pemikirannya. Hal itu akan menjadi pola pikir dan kerangka berpikir setelah melalui proses. Sebuah proses memerlukan waktu.
Dengan demikian sang da’I jangan cukup puas dengan hanya menyampaikan informasi dengan pidato, diskusi dan tulisan-tulisannya. Akan tetapi ia harus berusaha agar nilai-nilai kebaikan yang disampaikannya bisa diserap oleh obyeknya, dan mewarnai kerangka berpikirnya. Dalam hal ini iklan komersial bisa kita jadikan sebagai contoh getolnya ajakan dan seruan
3. Merubah dari kerangka berpikir menjadi keyakinan.
Tidak semua kerangka berpikir menjadi sebuah keyakinan. Untuk menjadi sebuah keyakinan kerangka berpikir harus melalui proses yang cukup dalam diri seseorang. Karena keyakinan ini yang menjadikan seseorang bisa mempertahankan sikap bahkan sampai menyabung nyawa. Maka tidak heran untuk merubah pola pikir menjadi keyakinan termasuk proses yang lambat. Dalam prosesi tersebut menyingkirkan berbagai pertanyaan, berbagai keragu-raguan, hingga melahirkan sebuah ketenangan hati. Pola berpikir yang tidak melalui proses yang matang hanya akan melahirkan fanatisme buta. Atau akan mudah tergoyahkan dengan alasan-alasan yang mampu mematahkannya. Namun Keyakinan yang melalui proses yang benar, akan menimbulkan sikap yang tepat dan penuh tanggung jawab.
Di sini peran da’I sangat diperlukan untuk membantu obyeknya mencapai keyakinan yang diinginkan. Kesabaran untuk menerima berbagai pertanyaan, menjawab berbagai pertanyaan, dan menghilangkan berbagai keraguan. Maka kerja da’I bukanlah kerja yang ringan.

4. Merubah dari keyakinan menjadi perilaku.
Namun demikian proses sebuah pola pikir untuk menjadi keyakinan rupanya tidaklah cukup. Sang da’I tidak boleh puas sampai di situ saja. Sebab yang ingin kita raih adalah produktifitas dan kerja nyata. Berapa banyak orang yang memiliki keyakinan,namun karena keyakinan itu mandul, maka ia tidak mempu menghasilkan apa-apa. Keyakinan yang kita inginkan adalah keyakinan yang mampu memberikan motivasi dan daya gerak. Bukan keyakinan yang beku hanya bercokol di dalam hati dan tidak bisa dilihat realisasinya.
Di sini peran sang da’I untuk membantu obyeknya menjadi subyek dari keyakinan tersebut. Dengan keteladanan yang baik, sikap-sikap yang memotivasi, memberikan contoh-contoh praktis. Sehingga obyek dakwah menjelmakan keyakinan tersebut ke dalam perilakunya.

5. Merubah perilaku menjadi orientasi .
Ketika seseorang sudah mengejawantahkan keyakinannya ke dalam aksi dan tindakan, terkadang perilaku dan aksi tersebut mengalami fluktuasi menaik dan menurun. Bukan sebuah cela bila seseorang mengalami fluktuasi dalam perilakunya, namun hendaknya fluktuasi tersebut tidak terlalu jauh jaraknya. Yang dimaksud istiqomah, adalah bila seseorang mampu mengawal sikapnya ke dalam standar umum yang baik.
Untuk menjaga agar seseorang mengalami fluktuasi yang seimbang, dan masih dalam bingkai yang logis, diperlukan seseorang itu untuk memiliki orientasi dalam setiap kerjanya. Dan tidak ada orientasi yang sanggup mengawal hal ini kecuali orientasi ibadah dalam setiap aktivitas kehidupan.

Demikianlah sedikit input untuk solusi menghadapi perilaku menyimpang dari nilai-nilai agamis,nilai-nilai luhur. Sebuah kerja yang terus menerus sesuai dengan kapasitas masing-masing penyeru kebaikan, dengan tanpa mengenal lelah. Hingga mendatangkan perubahan atau mati dalam melakukan kebaikan.
Hendaknya semua unsur yang ada di masyarakat secara individu ,institusi maupun kelembagaan ; pemerintah, lembaga-lembaga sosial, pejabat, lembaga-lembaga pendidikan, pesantren-pesantren dan lain sebagainya juga menjadi pelopor dalam melaksanakan proses ini, bekerja sama menjalin network yang kuat dengan tanpa mengecilkan peran pihak lain.
Wallahua’lam bishowab.
Keberatan dengan iklan ini?

Islamabad, 23 Januari 2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com

* Dipresentasikan dalam acara bedah buku: Sex in the kost, karya Iip Wijayanto, dalam rangka memperingati 15 tahun IKPM cabang Pakistan, di aula KBRI Islamabad pada 25 Januari 2004.
Posted by Masturi at 12:41 PM 0 comments Links to this post
Labels: Fiqih Dakwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar