Rabu, 10 Februari 2010

Kesaksian Gontor

Mungkin ada yang belum mengenal Pondok Modern Gontor, ini ada sedikit kesksian tentang Gontor moga bisa menjadi bahan renungan dan informasi untuk kita semua:


SEBUAH KESAKSIAN TENTANG GONTOR

Dimuat di Harian Malang Post, 06 Desember 2009

Judul Buku : Wisdom of Gontor
Penulis : Tasirun Sulaiman
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Cetakan I : September 2009
Tebal : 230 halaman
Peresensi : Muhammad Rajab*

Siapa yang tidak mengenal Gontor. Mayoritas penduduk Indonesia,
khususnya yang muslim sudah mengenal nama tersebut. Sebuah pondok
pesantren yang pusatnya terletak di Ponorogo Jawa Timur. Walaupun
pondok modern yang didirikan 1926 ini tempatnya di daerah terpencil dan
diapit oleh dua pegununngan di kawasan selatan kota Ponorogo. Tapi
kesunyian dan keterpencilan itu tiba-tiba menggema dan menggemuruh
khususnya di tanah air Indonesia.
Seiring berjalannya waktu,
kemudian nama Gontor menjadi semakin kian riuh dengan munculnya
tokoh-tokoh, seperti Dr. Nurcholis Madjid, Kafrawi ridwan MA.,
Penasehat Golkar Pusat, Dr. Hafidz Basuki, esin penggerak Depag, Emha
Ainun Nadjib, yang melesat dengan lautan jilbab hingga Kiai Kanjeng,
Habib Chirzin, budayawan kondang asal kota Budeg dan KH. Hamam Ja’far
dengan pesantren Pabelan yang melejit dengan Dr. Komaruddin Hidayatnya.

Setelah itu muncul meteor-meteor baru Gontor menghambur dengan
hebatnya. Langit-langit Indonesia menjadi taman meteor yang
menyenangkan tapi juga meletupkan suatu kekaguman yang tersimpan di
balik dada. Dr. Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR RI, Din Syamsuddin, Ketua
PP Muhammadiyah, KH. Hasyim Muzadi, Ketua PP NU, Maftuh Basyuni,
Menteri Agama, dan banyak lagi yang sekelas doktor yang menjadi
penggerak dan pendobrak perjuanngan bangsa Indonesia.
Gontor dengan
rupa dan pernak-perniknya telah memberikan pesona dan kekaguman
tersendiri. Apalagi ketika peristiwa 11 September 2001 yang mengguncang
dunia dan membuat Gorge Bush yang pernah singgah di hotel Salak, Bogor
menjadi berang. Perang melawan teorisme pun dideklarasikan lalu
orang-orang pun kaget sekali ketika Kiai Abu Bakar Ba’asyir
disebut-sebut sebagai amir dari Jama’ah Islamiyah dan dituduh terlibat
di balik bom-bom yang meledak di Indonesia. Dan Kiai Abu Bakar Ba’asyir
adalah alumni Gontor. Fakta membuktikan bahwa Hidayat Nur Wahid dan
beberapa alumni Gontor lain yang senior tidak takut-takut menyambangi
Ba’asyir yang saat itu menjadi tahanan kepolisian. (hal. 21)
Namun
apapun rupa bentuk alumni Gontor, tetap masih ditemukan sebuah warna
yang masih bisa ditarik benang merahnya. Benang merah tersebut
bersumber dari wisdom atau kearifan yang diajarkan Gontor, baik dari
sikap dan keteladanan KH. Ahmad Sahal maupun KH. Imam Zarkasyi atau
ajaran yang menjadi visi Gontor yang menyerupai semangat kebersamaan
walaupun berbeda golongan, yang kemudian tercantum dalam motto Gontor
“berdiri di atas dan untuk semua golongan”.
Buku Wisdom of Gontor
yang ditulis oleh alumnus Gontor sendiri, Tasirun Sulaiman ini hadir
untuk menjadi kesaksian yang bisa memberikan pemandangan dan lanskap
serta nuansa baru bagi mereka yang ingin melihat Gontor. Atau bagi yang
pernah belajar di sana, bisa saja buku ini membangkitkan nostalgia
untuk mengenang dan mengingat kembali masa lalunya ketika berada di
Gontor. Yang kemudian bisa dijadikan motivator kembali untuk
mendapatkan sebuah kearifan sebagaimana yang telah diajarkan Gontor.

Buku ini telah banyak mendapatkan komentar baik dari alumni senior
Gontor sendiri ataupun dari tokoh-tokoh yang lain. Pasalnya, memang
benar Gontor telah mengajarkan nilai-nilai religiusitas dan humanitas
di tengah-tengah perbedaan umat. Misalnya pengakuan Hidayat Nur Wahid,
“moto dan Panca-Jiwa adalah ruh Pondok Modern Gontor. Trimurti, pendiri
Gontor alm. KH. Ahmad Sahal, alm. KH. Zaenuddin Fananie, dan alm. KH.
Imam Zarkasyi telah mencontohkan dalam amalan. Saya secara pribadi
sangat terkesan dengan moto dan Panca-Jiwa. Dan kita dapat membacanya
di buku Wisdom of Gontor ini”.
Hal menarik yang terdapat dalam buku
ini adalah penjelasan tentang kearifan-kearifan yang ada di Gontor.
Baik dalam perkataan-perkataan yang dilukis di atas dinding kelas
ataupun dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para santri dan
astatidz dan para pembimbing yang ada di Gontor. Boleh dikatakan buku
ini adalah sebuah gudang penyimpanan yang berisi kearifan-kearifan
(wisdom) yang ada di pondok tersebut.
Ada sebuah cerita menarik.
Suatu kali, siswa akhir dari suatu angkatan di Gontor , yang memiliki
keahlian membuat letter atau kaligrafi, menghiasi gedung aula pertemuan
dengan tulisan yang mengejutkan “berbuat baik jangan sekali, berbuat
buruk baik sekali” Tulisan yang menghiasi ruang pertemuan itu tentu
saja mematik dan mengejutkan setiap orang yang melihatnya. Tidak saja
dari kalangan siswa, tapi guru dan pemimpin Gontor saat itu. Berbuat
buruk baik sekali? Tentu saja pernyataan itu sepintas dan selayang
pandang membuat orang terprovokasi dan memberontak. Tapi, jika
direnungkan, tulisan kreatif tersebut memberikan makna yang dalam. Dia
ingin berpesan: “Kalau memang pernah berbuat buruk, maka cukuplah
sekali saja!” tapi apabila kalimat yang kedua yang dipilih tentulah
kurang gagah. (hal. 37)
Apa maksud di balik pernyataan di atas?.
Pernyataan di atas sangat sederhana namun mengandung makna yang
mendalam. Artinya, bahwa untuk berbuat baik jangan hanya sekali saja.
Pasalnya, untuk menjadi orang baik tidak cukup dengan kebaikan yang
dikerjakan hanya sekali saja, akan tetapi butuh kontinuitas. Sedangkan
berbuat buruk cukuplah hanya sekali. Jangan sampai diulang-ulang
berkali-kali. Tidak dapat dipungkiri memang, karena manusia tak ada
yang pernah luput dari salah dan dosa. Adapun pesan utama dari
pernyataan di atas adalah, “jadilah orang baik”.
Pada intinya,
buku ini merupakan sebuah kesaksian tentang pendidikan di Pondok
Pesantren Modern Gontor. Berbagai macam kearifan diangkat dalam buku
ini, mulai dari kisah-kisah lucu hingga nasehat-nasehat berharga dari
para pendiri dan asatidz di Gontor. Menariknya lagi, buku ini ditulis
dan dikemas dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga akan
memudahkan pembaca untuk mencerna isinya. Agar lebih tahu secara
mendalam tentang kearifan apa saja yang ada di Gontor, pembaca bisa
lebih dalam lagi menelusuri isi buku ini.

*Peresensi adalah
Peneliti di Forum Studi Islam (Forsifa) Unmuh Malang

Diposkan oleh Al-Islam.net

di 18:45

1 komentar:

  1. Nggon kotor, tempat kotor, demikian dahulunya orang menyebut kampung di pinggiran Kabupaten Ponorogo ini. tapi, subhanallah, Allah menyambut doa Trimurti, tiga bersaudara pendiri Pesantren Gontor, yang mengubah "nggon kotor" menjadi "nggon doktor" karena saking banyaknya intelektual dan tokoh muslim yg lahir dari condrodimuko pesantren Darussalam di bantaran sungai Malo ini...

    BalasHapus