Selasa, 02 Juni 2009

Peran Publik Muslimah

Di era globalisasi ini terjadi dua fenomena yang bertentangan dalam melihat peran publik muslimah.
Di satu pihak gerakan feminisme menuntut adanya kebebasan wanita untuk menentukan nasibnya sendiri, dan ingin melepaskan diri dari masyarakat। Seolah-olah wanita tertindas dan harus menuntut kebebasan itu, bersaing dengan laki-laki, yang dikesankan sebagai pembuat belenggu bagi wanita. Sehingga masyarakat ini terbagi menjadi dua,yaitu:
- masyarakat laki-laki
- masyarakat perempuan.
Perempuan menuntut agar disamakan dengan laki-laki dalam segala segi .
Di sisi lain ada penyeru, yang menyerukan muslimah agar kembali ke dalam rumah dan tidak perlu ada peran publik yang diperankan, sehingga terkungkung di rumah dengan alasan berperan sebagai pendidik anak dan generasi, begitulah yang diajarkan oleh Islam dan di contohkan oleh Rasulullah saw., begitu kata mereka.
Telah hilang dari pikirannya peran yang dilakukan oleh umahatul mu’minin dalam mendampingi Rasulullah saw berperang, mengajar para muslimah, mendidik anak-anak muslimin.
Berapa banyak para shahabiat yang ikut ke medan jihad merawat prajurit-prajurit muslimin yang terluka, bahkan tidak sedikit yang ikut mengangkat senjata berjihad di jalan Allah, tersebutlah Ummu Haram bintu Milhan, Khoulah binti Al Azwar yang membantu pasukan Kholid in Walid dalam perang Qodisiyah melawan orang-orang Romawi......


Bagaimana sebenarnya peran publik muslimah??

Perlunya Definisi
Untuk melihat hal ini secara obyektif, tidak ekstrim maka perlu didefinisikan. Dari situ mudah kiranya untuk menakar peran publik muslimah. Dengan definisi tidak akan timbul perdebatan dan perbedaan dalam masalah hukumnya. Apakah peran publik itu sangat ekstrim yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat islam, ataukah peran publik itu masih dalam kerangka syariat?? Apakah yang dimaksud dengan peran publik itu, dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab wanita yang lain ataukah peran publik itu masih dalam kerangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab wanita muslimah??? Apakah peran itu masih dalam kemampuan wanita muslimah itu sendiri ataukah sudah melampaui batas kemampuannya?? Apakah Peran publik itu sesuai dengan fitrah wanita muslimah ataukah sudah keluar dari fitrah??? Apakah peran itu sekedar tampil ataukah mesti berdasarkan kapabilitas???
Peran publik muslimah yang dibolehkan oleh Islam adalah peran publik yang masih dalam kordidor syariat Islam, menjaga moralitas dan menjauhi fitnah, dengan tetap menjaga keseimbangan tugas wanita tanpa mengorbankan tugas-tugas yang lain, masih dalam batas kemampuan muslimah, sesuai dengan fitrah wanita, dan tidak mendhalimi wanita itu sendiri.
Namun bila sudah keluar dari hal-hal di atas, maka jelas bukan peran yang dinginkan oleh Islam.

Menakar peran publik muslimah
Peran publik muslimah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam. Salah satu dari karakteristik Islam adalah mencakup semua aspek kehidupan. Kehidupan individu, kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga adanya tanggung jawab individu muslim. Dari karakteristik dan tanggung jawab inilah memunculkan peran publik individu muslim dan muslimah.

Dilihat dari aspek yang dicakup oleh Islam sebagai konsep kehidupan; individu,sosial, keluarga, jasmani dan rohani, menuntut peran publik muslimah. Sebab peran publik adalah bagian daripada cakupan aspek sosial Islam.
Sedangkan dari segi tanggung jawab masing-masing individu muslim dan muslimah memiliki tanggung jawab yang sama; tanggung jawab itu antara lain:
1. Tanggung jawab kepada Allah; yaitu masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang mesti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini tidak boleh kita abaikan apalagi kita tinggalkan. Hukumnya bermacam-macam ada yang wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Setiap hukum harus dilaksanakan sesuai dengan porsinya. Tidak boleh ekstrim, harus sederhana. Di sini wanita berperan sebagai seorang hamba dari Tuhannya dan ia harus mempertanggung-jawabkannya.

2. Tanggung jawab kepada individu, Islam juga menuntut pribadi muslim baik laki-laki maupun perempuan agar bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Tidak diperbolehkan oleh Islam mengabaikan diri sendiri untuk orang lain. Tanggung jawab ini tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pribadi itu sendiri yang bisa memenuhi tanggung jawab individunya. Tanggung jawab ini akan ditanyakan kelak di akhirat. Dan tidak ada orang lain yang bisa mempertanggung jawabkannya. Di sini wanita berperan sebagai seorang individu manusia, yang mesti hidup dengan kapasitas kemanusiaannya.

3. Tanggung jawab kepada keluarga; keluarga adalah bagian dari lembaga cakupan Islam. Islam tidak menganjurkan hidup membujang, bahkan melarangnya. Tanggung jawab untuk mewujudkan lembaga keluarga dan mempertahankan kelansungannya adalah tanggung jawab setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. Tanggungjawab ini disesuaikan dengan peran masing-masing individu, sebagai suami,istri, anak dan lain sebagainya. Masing-masing ada porsinya dan harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Bila ada kelalaian dalam tanggungjawab maupun kejanggalan dalam lembaga ini,maka akan menggoncangkan sendi-sendi Islam yang lain. Di sini wanita berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dan sebagai seorang anak. Ketiga-tiga peran tersebut mesti di jalaninya dengan seimbang.
4. Tanggung jawab kepada profesi, Islam menginginkan semua individunya produktif, dan tidak menginginkan menganggur. Kemandirian itu dicontohkan oleh para nabi dan Rasulullah Saw, sebagai Rasul yang menjadi pemimpin para Rasul tersebut. Dalam Islam juga mengenal hukum fardhu kifayah yaitu bila sudah ada yang melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka seluruh masyarakat Islam tidak berdosa. Namun sebaliknya, bila tidak ada satupun yang melaksanakan kewajiban tersebut,maka semua masyarakat muslim akan berdosa. Profesi ibarat pembagian tugas dalam masyarakat. Semua keperluan yang diperlukan oleh masyarakat untuk mempetahankan kelangsungan hidup yang Islami harus di adakan dan ada yang mengambil alih profesi tersebut. Kemudian dilaksanakan dengan baik dan profesional. Di sini wanita muslimah berperan sebagai seorang profesional yang produktif dan berpenghasilan. Terlebih-lebih bila ia sebagai tulang punggung keluarga dengan kondisi yang memaksakan dirinya untuk bekerja, seperti seorang wanita yang ditinggal suaminya, tidak ada saudara yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya, harus melangsungkan pendidikan anak-anaknya yang memerlukan biaya untuk mendidik dan membesarkannya.
5. Tanggung jawab kepada masyarakat, Salah satu aspek kehidupan yang dicakup oleh Islam adalah kehidupan bermasyarakat. Islam tidak hanya mencukupkan dalam konsep individu dan keluarga, akan tetapi cakupannyajuga kehidupan sosial kemasyarakatan yang meliputi struktural kenegaraan. Karena mengatur negara adalah mengatur masyarakat, dan itu termasuk cakupan aspek kehidupan Islam. Konsep Amar ma’ruf nahi Mungkar atau yang biasanya disebut dengan hisbah, jelas sekali menjelaskan hal ini. Individu muslim dan muslimah bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sehat, baik dan bersih moral dan materialnya masyarakat. Islam tidak mengabaikan kehidupan bermasyarakat dan hanya memperhatikan kehidupan individual seperti gaya hidup kapitalis. Begitu juga ia juga tidak memenggal hal-hak individu dan hanya memperhatikan hal-hal sosial masyarakat sebagaimana halnya konsep sosialis. Islam memperhatikan kedua-duanya dengan penuh keadilan dan keseimbangan. Di sini wanita berperan sebagai anggota masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya, dan mesti turut serta bertanggung jawab dengan kebaikan masyarakatnya.
6. Tanggung jawab kepada sejarah; Islam juga menuntut kepada individu muslim dan muslimah untuk memiliki tanggung jawab terhadap sejarah. Karena baik dan buruknya sejarah kemanusiaan ditentukan oleh sang pelaku sejarah tersebut. Islam menuntut individunya untuk menjadi pelaku sejarah yang baik dan benar. Bukan sekedar menjadi orang yang bersejarah dan dikenang orang. Bukankah Rasulullah saw. menjelaskan kepada kita perihal tiga perkara yang tidak akan terputus bagi seorang muslim dan muslimah walau ia telah meninggal?? Yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang akan senantiasa mendoakan kedua orang atuanya. Amal jariah yang baik adalah amal jariah yang berkesinambungan dan senantiasa mendatangkan pahala, walau sudah berganti generasi, berganti kurun dan berganti masa ribuan tahun. Ilmu yang bermanfaat, yang baik, yang diinginkan oleh Islam adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak, bermanfaat bagi kemanusiaan, yang bermanfaat dan berkesinambungan dari masa-ke masa. Jadi bukan hanya bermanfaat untuk sesaat atau hanya satu generasi saja. Begitu juga anak yang sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Anak sholeh yang baik adalah anak yang sholeh, yang melahirkan cucu-cucu yang sholeh, yang melahirkan cicit-cicit dan keturunan yang sholeh hingga hari kiamat. Bukan hanya anak yang sholeh yang berdo’a untuk kedua orang tuanya, namun ia melahirkan cucu yang tidak sholeh, bahkan cicit dan keturunan yang tidak menunjukkan sama sekali kesholehan. Tentu bukan yang demikian itu yang diinginkan oleh Islam. Dari sini Islam menuntut individu muslim untuk bertanggung jawab terhadap sejarah,dan mengukir sejarah yang baik, untuk kebaikan keturunan, generasi mendatang dan kebaikan dirinya dikahirat kelak. Di sini wanita berperan sebagai pelaku sejarah dan penentu dari sejaran, bahkan sebagai pembuat sejarah itu sendiri.
Demikianlah tanggung jawab yang mesti diemban oleh individu muslim dan muslimah. Dari sinilah kita melihat dan menakar peran publik muslimah.
Maksudnya, bahwasannya peran publik bukanlah peran tersendiri,akan tetapi sebuah peran yang berkaitan dengan peran-peran yang lain. Dan harus dijalankan secara seimbang.
Peran publik ini kalau bisa realisasikan formatnya antara lain:
1. Peran Sosial.
Seorang muslimah harus melaksanakan peran sosial ini, yaitu peran seorang muslimah ikut berpartisipasi membangun mental masyarakat. Terutama masyarakat perempuan itu sendiri. Apabila wanita muslimah tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat dan acuh tak acuh terhadap kondisi itu, maka ia tidak melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Islam kepadanya. Apatah lagi, bila muslimah tersebut memiliki kapabilitas yang cukup, sarana dan prasarana yang mendukung dan memadai. Seperti membantu anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, baik bantuan moral, material, maupun tenaga.
2. Peran Politik.
Seorang wanita muslimah juga memiliki tanggung jawab politik di masyarakat. Sebab politik adalah seni mengatur masyarakat, dan wanita adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari masyarakat, maka ia juga memiliki peran politis tersebut. Berbagai kebijakan sosial di masyarakat bila wanita muslimah tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut,maka akan sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Di era demokrasi seperti sekarang ini, jumlah wanita jelas lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lelaki. Kelompok Islam Phobia mengerahkan wanita-wanitanya untuk ikut mendukung perjuangan politis mereka dengan berbagai macam cara, hal itu tidak bisa diimbangi kecuali dengan melibatkan muslimah dalam peran politis. Terutama untuk menjawab hal-hal kesalah pahaman terhadap Islam yang selalu digembar-gemborkan oleh kelompok Islam phobia dengan dalih membela wanita dsb. Pembelaan itu akan lebih kuat bila yang melakukan adalah wanita muslimah.
3. Peran Pendidikan masyarakat.
Dalam mendidik masyarakat, tidak cukup hanya dengan melibatkan laki-laki saja, akan tetapi dituntut peran muslimah untuk melaksanakan pendidikan masyarakat, entah itu berupa pengajian, taman kanak-kanak dan lain sebagainya. Apalagi bila peran tersebut bila berhubungan dengan kaum wanita itu sendiri.

4. Peran profesi
Hendaknya wanita juga memiliki peran profesi yang dijalankan di masyarakat, apalagi bila profesi tersebut berhubungan dengan kebutuhan dan keperluan wanita. Sungguh sebuah kesalahan masyarakat muslim bila memprofesikan laki-laki dalam profesi yang seharusnya wanita yang layak melaksanakannya, dan kesalahan wanita bila tidak mengambil peran tersebut.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan
Dalam melaksanakan peran publik wanita muslimah, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah dan masyarakat muslim, antara lain:
1. Dalam melaksanakan peran publik tidak terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tabarruj, ikhtilath yang diharamkan, kholwat, menimbulkan fitnah. Sebab tidak ada fitnah bagi laki-laki lebih besar daripada wanita, dan tidak ada fitnah besar bagi wanita lebih besar daripada laki-laki.
2. Tetap menjaga keseimbangan dalam menjalankan tugas-tugas wanita; sebab wanita bukan hanya memiliki satu kewajiban; kewajiban sebagai seorang hamba Allah, sebagai, dirinya sendiri, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak, sebagai anggota masyarakat dan lain sebagainya.
3. Memperhatikan prioritas bagi wanita muslimah tersebut. Sebab skala prioritas antara satu muslimah dengan muslimah yang lain tidaklah sama; hal itu disesuaikan dengan usia, kondisi, kapabilitas dan lain sebagainya.
4. Peran publik yang dijalani hendaknya masih dalam kemampuan wanita muslimah untuk menjalaninya, bukan justru mendhaliminya. Kemampuan wanita muslimah yang satu dengan yang lain berbeda.
5. Wanita muslimah yang mengambil salah satu peran publik tersebut memang memiliki kapabilitas untuk itu. Bukan sekedar tampil.
6. Peran tersebut dijalankan dengan dukungan fasilitas yang memadai, baik itu hard facility (fasilitas fisik) maupun soft facility ( fasilitas lunak). Sehingga peran yang dilakukan tersebut mendatangkan manfaat bagi wanita itu maupun bermanfaat bagi masyarakat.
7. Peran publik wanita muslimah tidaklah sama kadarnya, hal itu disesuaikan dengan kondisi masing-masing wanita muslimah; kapabilitas, kemampuan fisik, fasilitas, prioritas dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa diharuskan dalam satu format dan disamaratakan antara yang satu dan yang lain.
Demikianlah peran publik muslimah dan takarannya, semoga kita bisa melaksanakannya dengan seimbang . Wallahu a’lam bishowab.

Islamabad, 23/1/2004
Oleh: Masturi Istamar Suhadi Usman
http://ekspresiperenungan.blogspot.com
Tulisan ini diterbitkan oleh Dinamika majalah Forum Ukhuwah Mahasiswa Indonesia, Islamabad, Pakistan.

Posted by Masturi at 5:38 AM
Labels: Fiqih Dakwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar