Minggu, 07 Juni 2009

Terlanjur Tersohor

Ini ada tulisan cukup menarik, olahan pena seorang teman Muladi Mughni di Multplynya. Moga bermanfaat:





Ada banyak hal yang dilakukan oleh orang untuk
menjadikan dirinya terkenal. Dengan melakukan sesuatu yang aneh umpamanya, bisa
saja orang banyak memperbincangkan pelaku dari peristiwa itu, yang akhirnya
menghantarkan namanya tersohor seantero jagad. Kita lihat saja, di negeri kita,
satu bocah cilik bernama Ponari bisa begitu melejit dan tiba-tiba mengalahkan
rating berita selebritis papan atas, karena konon ia dapat menyembuhkan
berbagai penyakit dengan batu halilitarnya. Puluhan bahkan ratusan orang rela
antre panjang hanya untuk menunggu giliran mendapatkan air yang telah
dicelupkan batu Ponari. Tentang bagaimana nasib para pencari kesembuhan
selanjutnya setelah berobat ke Ponari sampai saat ini masih belum ada
penelitian yang akurat, atau boleh jadi meneliti hal seperti ini hanya akan
membuang energi saja. Tentang bagaimanakah nasib sekolah Ponari yang memang
tidak terlalu berprestasi dan keluarganya yang kadung keenakan disambangi oleh
orang banyak, yang tentu saja membawa amplop, kabar itu sudah tidak lagi
menjadi buah bibir media massa,
atau masyarakat sendiri pun sudah tidak peduli.

Kira-kira sampai di situlah tamat alur dari cerita kesohoran sang Ponari dan batu
halilitarnya. Untuk selanjutnya episode-episode keanehan dan ketersohoran yang
dilakukan oleh anak manusia ini akan terus dipertontonkan. Mungkin barometernya
tidak lagi soal nilai dan muatan yang sepatutnya disuguhkan kepada khalayak,
akan tetapi murni keanehan dan kesohoran semata. Sebagai bukti, ketika muncul
ponari-ponari baru, dengan modus pengobatan anak kecil yang sama dengan alat
raga yang berbeda, orang tidak lagi menggubris dan terpancing untuk lebih
mengetahuinya. Alasannya sederhana,karena apa yang dia perbuat, sudah tidak
lagi aneh dan pastinya ia tidak sesehor Ponari yang “asli”.

Padahal sesungguhnya yang lebih penting dari sekedar aneh dan tersohor tadi ialah,
mengkaji fenomena ponari dan semisalnya; apakah ini murni sebagai sebuah
fenomena sosial bangsa kita, ataukah sarat muatan politis pra hiruk pikuk pesta
demokrasi. Maka, jangan heran jika satu kasus yang dianggap aneh lalu dapat
mejadikan beberapa orang yang memiliki interest menjadi ikut tersohor. Adakah
ini sekedar mengentakkan perhatian publik, bahwa masalah keberagamaan kita
sesungguhnya masih jauh panggang dari pada api, di mana di satu desa di Jombang
yang terkenal dengan kota
santri, namun justru lahir keanehan menyerupai kekhurafatan yang ironisnya
cukup banyak pengikutnya. Ataukah ini sebuah kritik sosial bahwa bangsa kita
ini masih tengah menghianati undang-undang dasar dan hak asasi warganya, yang
konon mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga Negara. Adakah
pelayanan ini telah berubah menjadi hanya melayani yang sakit dan berduit,
sehingga orang miskin dilarang keras untuk sakit. Yang ini berarti, fasilitas
berobat murah semakin tidak pernah dirasakan oleh rakyat kecil. Maka keanehan
Ponari Cs. yang dipertontonkan hakekatnya adalah simbol dari protes sosial
kepada pemangku amanat penderitaan rakyat.

Yang tak terbayangkan dari fenomena semisal ini menurut saya adalah impak sosial,
beban psikologis dari orang yang pernah tersohor dan yang selayaknya ia belum
mumpuni berada pada tarap (maqam) di situ. Beban-beban itu pasti akan
menggelayuti setiap saat bukan saja pada dirinya, tapi juga bagi lingkungan
yang membentuknya seperti itu. Sudah dapat dipastikan, menjadi tersohor sebelum
waktunya dapat menjelma menjadi syndrome yang sangat akut. Orang yang selama ini
dipersepsi mampu melakukan sesuatu yang orang lain tidak, akan terus
diposisikan seperti itu, lebih-lebih pada tingkat masyrakat yang cenderung
tidak rasional.

Pada tingkatan masyarakat yang lebih tinggi pun, bukan tidak mungkin sindrom serupa
akan terjadi. Seorang anak yang terkenal, baru menamatkan sekolah tingginya,
karena berasal dari keluarga tersohor, tentu bakal menerima penghargaan
sebanding dengan yang diterima orang tuanya. Betapapun ia belum sempurna
menamatkan ilmu akademiknya, kondisi yang membentuk dirinya sedemikian tersohor
akibat warisan leluhur, dapat pula membentuk beban psikologis yang tidak
sedikit. Kadung terbuai dengan status sosial yang baru dia terima, penerimaan
masyarakat tanpa batas kritik atas apa yang ia petuahkan, mengikuti trend pasar
bahwa pengalaman jauh lebih penting dari
pada peng’aliman, semakin membius diri untuk enggan keluar dari kubangan
kondisi yang begitu menawan (akar kata:tawan).

Masyarakat di luar kita telah begitu melesat jauh meninggalkan kita, rasio-rasio
kesarjanaan telah menjadi standard kemajuan mereka, sementara di kita hal
tersebut masih menjadi persoalan nomor pinggiran. Dunia spesialisasi tengah
menjadi gurita di dunia-dunia maju, sementara di kita masih berpegang pada one
man for all dan anehnya ini dipraktekkan juga pada dunia praktisi. Beban
terbesar sebetulnya adalah pada bius yang mematikan tadi; banyak dari kita yang
telah tersohor sebelum waktunya. Sesungguhnya pada tahap itu belum menjadi
akut, tetapi tersohor untuk lalu membentuk mind-sett untuk merasa puas
dengan terminal akhir pencarian jati diri, berjibaku kembali dengan hasrat
keingintahuan yang mendalam, sedalam ilmu pengetahuan yang masih patut ia
kejar, kembali berjalan dibawah lentera ilmu yang tidak membuatkan terbuai
dengan pujaan-pujaan nisbi. Kerendahan diri untuk kembali memperkaya diri
dengan bekal semangat ‘kebodohan’ nampaknya masih sulit untuk dilakukan bagi
mereka yang telah terlanjur tersohor sebelum waktunya. (Oleh: Muladi Mughni, www.simoelmughni. multiply. com)

* Bica dibaca di milis PPMI Pakistan atau di Multply.com nya Muladi Mughni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar