Ada banyak hal yang dilakukan oleh orang untuk menjadikan dirinya terkenal. Dengan melakukan sesuatu yang aneh umpamanya, bisa saja orang banyak memperbincangkan pelaku dari peristiwa itu, yang akhirnya menghantarkan namanya tersohor seantero jagad. Kita lihat saja, di negeri kita, satu bocah cilik bernama Ponari bisa begitu melejit dan tiba-tiba mengalahkan rating berita selebritis papan atas, karena konon ia dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan batu halilitarnya. Puluhan bahkan ratusan orang rela antre panjang hanya untuk menunggu giliran mendapatkan air yang telah dicelupkan batu Ponari. Tentang bagaimana nasib para pencari kesembuhan selanjutnya setelah berobat ke Ponari sampai saat ini masih belum ada penelitian yang akurat, atau boleh jadi meneliti hal seperti ini hanya akan membuang energi saja. Tentang bagaimanakah nasib sekolah Ponari yang memang tidak terlalu berprestasi dan keluarganya yang kadung keenakan disambangi oleh orang banyak, yang tentu saja membawa amplop, kabar itu sudah tidak lagi menjadi buah bibir media massa, atau masyarakat sendiri pun sudah tidak peduli. Kira-kira sampai di situlah tamat alur dari cerita kesohoran sang Ponari dan batu halilitarnya. Untuk selanjutnya episode-episode keanehan dan ketersohoran yang dilakukan oleh anak manusia ini akan terus dipertontonkan. Mungkin barometernya tidak lagi soal nilai dan muatan yang sepatutnya disuguhkan kepada khalayak, akan tetapi murni keanehan dan kesohoran semata. Sebagai bukti, ketika muncul ponari-ponari baru, dengan modus pengobatan anak kecil yang sama dengan alat raga yang berbeda, orang tidak lagi menggubris dan terpancing untuk lebih mengetahuinya. Alasannya sederhana,karena apa yang dia perbuat, sudah tidak lagi aneh dan pastinya ia tidak sesehor Ponari yang “asli”. Padahal sesungguhnya yang lebih penting dari sekedar aneh dan tersohor tadi ialah, mengkaji fenomena ponari dan semisalnya; apakah ini murni sebagai sebuah fenomena sosial bangsa kita, ataukah sarat muatan politis pra hiruk pikuk pesta demokrasi. Maka, jangan heran jika satu kasus yang dianggap aneh lalu dapat mejadikan beberapa orang yang memiliki interest menjadi ikut tersohor. Adakah ini sekedar mengentakkan perhatian publik, bahwa masalah keberagamaan kita sesungguhnya masih jauh panggang dari pada api, di mana di satu desa di Jombang yang terkenal dengan kota santri, namun justru lahir keanehan menyerupai kekhurafatan yang ironisnya cukup banyak pengikutnya. Ataukah ini sebuah kritik sosial bahwa bangsa kita ini masih tengah menghianati undang-undang dasar dan hak asasi warganya, yang konon mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga Negara. Adakah pelayanan ini telah berubah menjadi hanya melayani yang sakit dan berduit, sehingga orang miskin dilarang keras untuk sakit. Yang ini berarti, fasilitas berobat murah semakin tidak pernah dirasakan oleh rakyat kecil. Maka keanehan Ponari Cs. yang dipertontonkan hakekatnya adalah simbol dari protes sosial kepada pemangku amanat penderitaan rakyat. Yang tak terbayangkan dari fenomena semisal ini menurut saya adalah impak sosial, beban psikologis dari orang yang pernah tersohor dan yang selayaknya ia belum mumpuni berada pada tarap (maqam) di situ. Beban-beban itu pasti akan menggelayuti setiap saat bukan saja pada dirinya, tapi juga bagi lingkungan yang membentuknya seperti itu. Sudah dapat dipastikan, menjadi tersohor sebelum waktunya dapat menjelma menjadi syndrome yang sangat akut. Orang yang selama ini dipersepsi mampu melakukan sesuatu yang orang lain tidak, akan terus diposisikan seperti itu, lebih-lebih pada tingkat masyrakat yang cenderung tidak rasional. Pada tingkatan masyarakat yang lebih tinggi pun, bukan tidak mungkin sindrom serupa akan terjadi. Seorang anak yang terkenal, baru menamatkan sekolah tingginya, karena berasal dari keluarga tersohor, tentu bakal menerima penghargaan sebanding dengan yang diterima orang tuanya. Betapapun ia belum sempurna menamatkan ilmu akademiknya, kondisi yang membentuk dirinya sedemikian tersohor akibat warisan leluhur, dapat pula membentuk beban psikologis yang tidak sedikit. Kadung terbuai dengan status sosial yang baru dia terima, penerimaan masyarakat tanpa batas kritik atas apa yang ia petuahkan, mengikuti trend pasar bahwa pengalaman jauh lebih penting dari pada peng’aliman, semakin membius diri untuk enggan keluar dari kubangan kondisi yang begitu menawan (akar kata:tawan). Masyarakat di luar kita telah begitu melesat jauh meninggalkan kita, rasio-rasio kesarjanaan telah menjadi standard kemajuan mereka, sementara di kita hal tersebut masih menjadi persoalan nomor pinggiran. Dunia spesialisasi tengah menjadi gurita di dunia-dunia maju, sementara di kita masih berpegang pada one man for all dan anehnya ini dipraktekkan juga pada dunia praktisi. Beban terbesar sebetulnya adalah pada bius yang mematikan tadi; banyak dari kita yang telah tersohor sebelum waktunya. Sesungguhnya pada tahap itu belum menjadi akut, tetapi tersohor untuk lalu membentuk mind-sett untuk merasa puas dengan terminal akhir pencarian jati diri, berjibaku kembali dengan hasrat keingintahuan yang mendalam, sedalam ilmu pengetahuan yang masih patut ia kejar, kembali berjalan dibawah lentera ilmu yang tidak membuatkan terbuai dengan pujaan-pujaan nisbi. Kerendahan diri untuk kembali memperkaya diri dengan bekal semangat ‘kebodohan’ nampaknya masih sulit untuk dilakukan bagi mereka yang telah terlanjur tersohor sebelum waktunya. (Oleh: Muladi Mughni, www.simoelmughni. multiply. com) |
* Bica dibaca di milis PPMI Pakistan atau di Multply.com nya Muladi Mughni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar